1. Rumah Adat
Di Sumatra Selatan, seperti halnya dengan daerah lain di Indonesia,
terdapat karya seni arsitektur yaitu Rumah Limas dan masih bisa kita temukan
sebagai rumah hunian di daerah Palembang. Rumah Limas Palembang telah diakui
sebagai Rumah Adat Tradisional Sumatera Selatan. Secara umum arsitektur Rumah Limas
Palembang, pada atapnya berbentuk menyerupai piramida terpenggal (limasan).
Keunikan rumah Limas lainnya yaitu dari bentuknya yang bertingkat-tingkat (kijing).
Dindingnya berupa kayu merawan yang berbentuk papan. Rumah Limas Palembang
dibangun di atas tiang-tiang atau cagak.
Tari Tanggai - Sumatera Selatan
2. Seni Tari
1. Tari Gending Sriwijaya
Gending Sriwijaya merupakan lagu daerah dan juga tarian yang cukup populer dari
kota Palembang Sumatera Selatan. Lagu Gending Sriwijaya ini dibawakan untuk
mengiringi tari Gending Sriwijaya. Baik lagu maupun tarian ini menggambarkan
keluhuran budaya, kejayaan, dan keagungan kemaharajaan Sriwijaya yang pernah
berjaya mempersatukan wilayah Barat Nusantara Lirik lagu ini juga menggambarkan
kerinduan seseorang akan zaman di mana pada saat itu Sriwijaya pernah menjadi
pusat studi agama Buddha di dunia.
Tari Gending Sriwijaya dari Sumatera Selatan ini dibawakan untuk menyambut tamu-tamu agung. Biasanya tarian ini dibawakan oleh sebanyak 13 orang penari, yang terdiri dari 9 orang penari inti dan 4 orang pendamping dan penyanyi :
Tari Gending Sriwijaya dari Sumatera Selatan ini dibawakan untuk menyambut tamu-tamu agung. Biasanya tarian ini dibawakan oleh sebanyak 13 orang penari, yang terdiri dari 9 orang penari inti dan 4 orang pendamping dan penyanyi :
- Satu orang
penari utama pembawa tepak (tepak, kapur, sirih),
- Dua orang penari
pembawa peridon (perlengkapan tepak),
- Enam orang
penari pendamping (tiga dikanan dan tiga kiri),
- Satu orang
pembawa payung kebesaran (dibawa oleh pria),
- Satu orang
penyanyi Gending Sriwijaya,
- Dua orang
pembawa tombak (pria).
Namun saat ini penyanti gending sriwijaya sudah banyak digantikan
dengan media digital dan elektronik seperti VCD maupun tape recorder.
2. Tari Tanggai
Tari Tanggai merupakan tarian tradisional dari Sumatera Selatan
yang juga dipersembahkan untuk menyambut tamu kehormatan. Berbeda dengan tari
Gending Sriwijaya, Tari Tanggai dibawakan oleh lima orang dengan memakai
pakaian khas daerah seperti kain songket, dodot, pending, kalung, sanggul
malang, kembang urat atau rampai, tajuk cempako, kembang goyang, dan tanggai
yang berbentuk kuku terbuat dari lempengan tembaga.
Tari ini merupakan perpaduan antara gerak yang gemulai dengan busana khas
daerah. Tarian ini menggambarkan masyarakat Palembang yang ramah dan
menghormati, menghargai serta menyayangi tamu yang berkunjung ke daerahnya.
3. Tari Mejeng Basuko
Tarian mejeng basuko adalah tarian khas muda mudi Sumatera Selatan
(Sumsel). Tarian ini menggambarkan muda mudi yang berkumpul dan bersenda gurau
untuk menarik hati lawan jenisnya. Tak jarang ada yang sampai jatuh hati dan
mendapatkan jodoh dari pertemuan tersebut.
4. Tari Rodat Cempako
Tarian Rodat Cempako adalah tarian khas masyarakat Sumsel yang dipengaruhi
oleh gerakan dari Timur Tengah. Tarian Rodat Cempako ini merupakan tarian
masyarakat Sumsel yang bernafaskan Islam.
5. Tari Tenun Songket
Tarian Tenun Songket dari Sumatera Selatan ini menggambarkan masyarkat
Sumsel khususnya kaum wanita yang memanfaatkan waktu luangnya untuk menenun
kain songket dan kerajinan tangan.
6. Tari Madik / Nindai
Tari Madik / Nindai adalah tarian khas Sumatera Selatan yang menggambarkan
proses pemilihan calon menantu. Di Sumatera Selatan terdapat kebiasaan dimana
orang tua pria akan berkunjung ke rumah calon menantunya untuk melihat dan
menilai (Madik dan Nindai) kepribadian sehari-hari calon menantu tersebut.
3. Pakaian Adat
Pakaian Adat Sumatra Selatan bisa dikatakan sebagai simbol peradaban
budaya masyarakat Sumatra Selatan. Karena di dalamnya terdapat unsur filosofi
hidup dan keselarasan. Hal ini bisa dilihat dari pilihan warna dan corak yang
menghiasi pakaian adat tersebut. Ditambah dengan kelengkapannya, makin menambah
kesakralan yang nampak pada tampilan pakaian adat yang berfungsi sebagai
identitas budaya masyarakat Sumatra Selatan.
Aessan Gede dan Aesan Paksangko
Pakaian adat Suamtra Selatan sangat terkenal dengan sebutan Aesan gede yang melambangkan kebesaran, dan pakaian Aesan paksangko yang melambangkan keanggunan masyarakat Sumatera Selatan. Pakaian adat ini biasanya hanya digunakan saat upacara adat perkawinan. Dengan pemahaman bahwa upacara perkawinan ini merupakan upacara besar. Maka dengan menggunakan Aesan Gede atau Aesan Paksangko sebagai kostum pengantin memiliki makna sesuatu yang sangat anggun, karena kedua pengantin bagaikan raja dan ratu.Pembeda antara corak Aesan Gede dan Aesan Paksongko, jika dirinci sebagai berikut; gaya Aesan Gede berwarna merah jambu dipadu dengan warna keemasan. Kedua warna tersebut diyakini sebagai cerminan keagungan para bangsawan Sriwijaya. Apalagi dengan gemerlap perhiasan pelengkap serta mahkota Aesan Gede, bungo cempako, kembang goyang, dan kelapo standan. Lalu dipadukan dengan baju dodot serta kain songket lepus bermotif napan perak. Pada Aesan Paksangkong. Bagi laki-laki menggunakan songket lepus bersulam emas, jubah motif tabor bunga emas, selempang songket, seluar, serta songkok emeas menghias kepala. Dan bagi perempuan menggunakan teratai penutup dada, baju kurung warna merah ningrat bertabur bunga bintang keemasan, kain songket lepus bersulam emas, serta hiasan kepala berupa mahkota Aesan Paksangkong. Tak ketinggalan pula pernak-pernik penghias baju seperti perhiasan bercitrakan keemasan, kelapo standan, kembang goyang, serta kembang kenango.
Pakaian adat Suamtra Selatan sangat terkenal dengan sebutan Aesan gede yang melambangkan kebesaran, dan pakaian Aesan paksangko yang melambangkan keanggunan masyarakat Sumatera Selatan. Pakaian adat ini biasanya hanya digunakan saat upacara adat perkawinan. Dengan pemahaman bahwa upacara perkawinan ini merupakan upacara besar. Maka dengan menggunakan Aesan Gede atau Aesan Paksangko sebagai kostum pengantin memiliki makna sesuatu yang sangat anggun, karena kedua pengantin bagaikan raja dan ratu.Pembeda antara corak Aesan Gede dan Aesan Paksongko, jika dirinci sebagai berikut; gaya Aesan Gede berwarna merah jambu dipadu dengan warna keemasan. Kedua warna tersebut diyakini sebagai cerminan keagungan para bangsawan Sriwijaya. Apalagi dengan gemerlap perhiasan pelengkap serta mahkota Aesan Gede, bungo cempako, kembang goyang, dan kelapo standan. Lalu dipadukan dengan baju dodot serta kain songket lepus bermotif napan perak. Pada Aesan Paksangkong. Bagi laki-laki menggunakan songket lepus bersulam emas, jubah motif tabor bunga emas, selempang songket, seluar, serta songkok emeas menghias kepala. Dan bagi perempuan menggunakan teratai penutup dada, baju kurung warna merah ningrat bertabur bunga bintang keemasan, kain songket lepus bersulam emas, serta hiasan kepala berupa mahkota Aesan Paksangkong. Tak ketinggalan pula pernak-pernik penghias baju seperti perhiasan bercitrakan keemasan, kelapo standan, kembang goyang, serta kembang kenango.
4. Senjata Tradisonal
Senjata Tradisional Sumatera Selatan yang beribuka di Palembang memiliki banyak kesamaan dengan senjata
tradisional provinsi lainnya di Pulau Sumatera dan Kepulauan Riau. Namun ada
satu senjata yang memang khas Palembang. Senjata tersebut adalah Tombak
Trisula. Seperti halnya rencong dari aceh, kujang dari sunda, atau mandau dari
Kalimantan, tombak trisula memang sudah dikenal berasal dari Palembang. Namun
belum diketahui secara pasti sejak kapan trisula ini menjadi senjata
tradisional di Palembang. Diduga perkembangan trisula menjadi senjata tradisional di Palembang ada
kaitannya dengan perkembangan kebudayaan Hindu yang ada pada masa kerajaan
Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Hal ini dapat dilihat dari bentuk tombak
trisula yang mirip dengan trisula yang ada di kuil kuil Hindu yaitu senjata
yang dipegang oleh Dewa Siwa. Walaupun senjata tombak trisula ini juga dipergunakan oleh banyak negara, akan
tetapi yang khas dari trisula palembang adalah kedua sisi tombak tersebut dapat
dipergunakan sebagai senjata. Satu sisi tombak berbentuk trisula sedangkan sisi
lainnya merupakan mata tombak biasa. Selain Tombak Trisula sebagai senjata
tradisional Palembang, masyarakat palembang juga mengenal keris sebagai senjata
tradisional. Walaupun pada zaman sekarang replikasi keris dipergunakan sebagai
pelengkap pakaian tradisional dari Sumatera Selatan. Demikian Sobat, ulasan mengenai senjata tradisional dari Sumatera Selatan.
Semoga bermanfaat.
5. Lagu Daerah
1. Pempek Lenzer
2. Kabile Bile
3. Dirut
4. Dek Sangke
5. Kapal Selam
6. Cup Mak Ilang
7. Petang – Petang
8.Palembang Bari
9.Palembang Diwaktu Malam
10.Gending Sriwjaya
11.Ribu-Ribu
2. Kabile Bile
3. Dirut
4. Dek Sangke
5. Kapal Selam
6. Cup Mak Ilang
7. Petang – Petang
8.Palembang Bari
9.Palembang Diwaktu Malam
10.Gending Sriwjaya
11.Ribu-Ribu
6. Bahasa
Bahasa Palembang berasal dari bahasa Melayu Tua yang berbaur dengan bahasa
Jawa dan diucapkan menurut logat/dialek wong Palembang. Seterusnya bahasa yang
sudah menjadi milik wong Palembang ini diperkaya pula dengan bahasa-bahasa
Arab, Urdhu, Persia, Cina, Portugis, Iggris dan Belanda. Sedangkan Aksara
bahasa Melayu Palembang, menggunakan aksara Arab (Arab-Melayu) atau tulusan
Arab berbahasa Melayu (Arab Gundul/Pegon). Bahasa Palembang terdiri dari dua
tingkatan, pertama merupakan bahasa sehari-hari yang digunakan hampir oleh
setiap orang di kota ini atau disebut juga bahasa pasaran. Kedua, bahasa halus
(Bebaso) yang digunakan oleh kalangan terbatas, (Bahasa resmi Kesultanan).
Biasanya dituturkan oleh dan untuk orang-orang yang dihormati atau yang usianya
lebih tua. Seperti dipakai oleh anak kepada orang tua, menantu kepada mertua,
murid kepada guru, atau antar penutur yang seumur dengan maksud untuk saling
menghormati, karena Bebaso artinya berbahasa sopan dan halus.
Suku Kubu - Suku Asi Sumatera Selatan - Jambi
7. Suku
Suku Kubu merupakan suku asli pedalaman yang menempati wilayah Sumatera Selatan dan Jambi selain tu terdapat 12 Suku Besar yang ada di Sunmatera Selatan, diantaranya :
1. Suku Komering
Komering merupakan salah satu suku atau wilayah budaya di Sumatra Selatan, yang berada di sepanjang aliran Sungai Komering. Seperti halnya suku-suku di Sumatra Selatan, karakter suku ini adalah penjelajah sehingga penyebaran suku ini cukup luas hingga ke Lampung. Suku Komering terbagi atas dua kelompok besar: Komering Ilir yang tinggal di sekitar Kayu Agung dan Komering Ulu yang tinggal di sekitar kota Baturaja. Suku Komering terbagi beberapa marga, di antaranya marga Paku Sengkunyit, marga Sosoh Buay Rayap, marga Buay Pemuka Peliyung, marga Buay Madang, dan marga Semendawai. Wilayah budaya Komering merupakan wilayah yang paling luas jika dibandingkan dengan wilayah budaya suku-suku lainnya di Sumatra Selatan. Selain itu, bila dilihat dari karakter masyarakatnya, suku Komering dikenal memiliki temperamen yang tinggi dan keras. Berdasarkan cerita rakyat di masyarakat Komering, suku Komering dan suku Batak, Sumatra Utara, dikisahkan masih bersaudara. Kakak beradik yang datang dari negeri seberang. Setelah sampai di Sumatra, mereka berpisah. Sang kakak pergi ke selatan menjadi puyang suku Komering, dan sang adik ke utara menjadi puyang suku Batak.
2. Suku Palembang
Kelompok suku Palembang memenuhi 40 - 50% daerah kota palembang. Suku Palembang dibagi dalam dua kelompok : Wong Jeroo merupakan keturunan bangsawan/hartawan dan sedikit lebih rendah dari orang-orang istana dari kerajaan tempo dulu yang berpusat di Palembang, dan Wong Jabo adalah rakyat biasa. Seorang yang ahli tentang asal usul orang Palembang yang juga keturunan raja, mengakui bahwa suku Palembang merupakan hasil dari peleburan bangsa Arab, Cina, suku Jawa dan kelompok-kelompok suku lainnya di Indonesia. suku Palembang sendiri memiliki dua ragam bahasa, yaitu Baso Palembang Alus dan Baso Palembang Sari-Sari. Suku Palembang masih tinggal/menetap di dalam rumah yang didirikan di atas air. Model arsitektur rumah orang Palembang yang paling khas adalah rumah Limas yang kebanyakan didirikan di atas panggung di atas air untuk melindungi dari banjir yang terus terjadi dari dahulu sampai sekarang. Di kawasan sungai Musi sering terlihat orang Palembang menawarkan dagangannya di atas perahu.
Komering merupakan salah satu suku atau wilayah budaya di Sumatra Selatan, yang berada di sepanjang aliran Sungai Komering. Seperti halnya suku-suku di Sumatra Selatan, karakter suku ini adalah penjelajah sehingga penyebaran suku ini cukup luas hingga ke Lampung. Suku Komering terbagi atas dua kelompok besar: Komering Ilir yang tinggal di sekitar Kayu Agung dan Komering Ulu yang tinggal di sekitar kota Baturaja. Suku Komering terbagi beberapa marga, di antaranya marga Paku Sengkunyit, marga Sosoh Buay Rayap, marga Buay Pemuka Peliyung, marga Buay Madang, dan marga Semendawai. Wilayah budaya Komering merupakan wilayah yang paling luas jika dibandingkan dengan wilayah budaya suku-suku lainnya di Sumatra Selatan. Selain itu, bila dilihat dari karakter masyarakatnya, suku Komering dikenal memiliki temperamen yang tinggi dan keras. Berdasarkan cerita rakyat di masyarakat Komering, suku Komering dan suku Batak, Sumatra Utara, dikisahkan masih bersaudara. Kakak beradik yang datang dari negeri seberang. Setelah sampai di Sumatra, mereka berpisah. Sang kakak pergi ke selatan menjadi puyang suku Komering, dan sang adik ke utara menjadi puyang suku Batak.
2. Suku Palembang
Kelompok suku Palembang memenuhi 40 - 50% daerah kota palembang. Suku Palembang dibagi dalam dua kelompok : Wong Jeroo merupakan keturunan bangsawan/hartawan dan sedikit lebih rendah dari orang-orang istana dari kerajaan tempo dulu yang berpusat di Palembang, dan Wong Jabo adalah rakyat biasa. Seorang yang ahli tentang asal usul orang Palembang yang juga keturunan raja, mengakui bahwa suku Palembang merupakan hasil dari peleburan bangsa Arab, Cina, suku Jawa dan kelompok-kelompok suku lainnya di Indonesia. suku Palembang sendiri memiliki dua ragam bahasa, yaitu Baso Palembang Alus dan Baso Palembang Sari-Sari. Suku Palembang masih tinggal/menetap di dalam rumah yang didirikan di atas air. Model arsitektur rumah orang Palembang yang paling khas adalah rumah Limas yang kebanyakan didirikan di atas panggung di atas air untuk melindungi dari banjir yang terus terjadi dari dahulu sampai sekarang. Di kawasan sungai Musi sering terlihat orang Palembang menawarkan dagangannya di atas perahu.
3. Suku Gumai
Suku Gumai adalah salah satu suku yang mendiami daerah di Kabupaten Lahat.
Sebelum adanya Kota Lahat, Gumai merupakan satu kesatuan dari teritorial GUMAI,
yaitu Marga Gumai Lembak, Marga Gumai Ulu dan Marga Gumai Talang. Setelah adanya kota Lahat, maka Gumai menjadi terpisah dimana Gumai Lembak dan
Gumai Ulu menjadi bagian dari Kecamatan Pulau Pinang sedangkan Gumai Talang
menjadi bagian dari Kecamatan Kota Lahat.
4. Suku Semendo
Suku Semendo berada di Kecamatan Semendo, Kabupaten Muara Enim, Propinsi Sumatera Selatan. Menurut sejarahnya, suku Semendo berasal dari keturunan suku Banten yang pada beberapa abad silam pergi merantau dari Jawa ke pulau Sumatera, dan kemudian menetap dan beranak cucu di daerah Semendo. Hampir 100% penduduk Semendo hidup dari hasil pertanian, yang masih diolah dengan cara tradisional. Lahan pertanian di daerah ini cukup subur, karena berada kurang lebih 900 meter di atas permukaan laut. Ada dua komoditi utama dari daerah ini : kopi jenis robusta dengan jumlah produksi mencapai 300 ton per tahunnya, dan padi, dimana daerah ini termasuk salah satu lumbung padi untuk daerah Sumatera Selatan. Adat istiadat serta kebudayaan daerah ini sangat dipengaruhi oleh nafas keIslaman yang sangat kuat. Mulai dari musik rebana, lagu-lagu daerah dan tari-tarian sangat dipengaruhi oleh budaya melayu Islam. Bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari adalah bahasa Semendo. Setiap kata pada setiap bahasa ini umumnya berakhiran "e."
5. Suku Lintang
Kawasan pegunungan Bukit Barisan di Sumatera Selatan merupakan tempat tinggal suku Lintang, diapit oleh suku Pasemah dan Rejang. Suku Lintang merupakan salah satu suku Melayu yang tinggal di sepanjang tepi sungai Musi di Propinsi Sumatera Selatan. Suku Melayu Lintang hidup dari bercocok tanam yang menghasilkan : kopi, beras, kemiri, karet dan sayur-sayuran. Mereka juga beternak kambing, kerbau, ayam, itik, bebek, dll. Mereka tidak mencari nafkah di sektor perikanan walaupun tinggal di tepi sungai. Orang Lintang adalah penganut Islam yang cukup kuat. Hal ini terlihat dengan banyaknya mesjid-mesjid dan pesantren untuk melatih kaum mudanya.
6. Suku Kayu Agung
Suku Kayu Agung berdomisili di Sumatera Selatan, tepatnya di Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan ibukotanya Kayu Agung. Wilayah ini dialiri sungai Komering. Bahasanya terdiri atas dua dialek, yaitu dialek Kayu Agung dan dialek Ogan. Mata pencaharian suku ini bertani, berdagang, dan membuat gerabah dari tanah liat. Bentuk pertanian kebanyakan bersawah tahunan karena daerahnya terdiri dari rawa-rawa. Jadi sawah hanya dikerjakan saat musim hujan. Suku Kayu Agung mayoritas beragama Islam, tetapi mereka juga mempertahankan kepercayaan lama, yaitu kepercayaan mengenai dunia roh. Suku Kayu Agung percaya bahwa roh-roh nenek moyang dapat mengganggu manusia. Oleh karena itu, sebelum mayat dikubur harus dimandikan dengan bunga-bunga supaya arwah roh yang mati lupa jalan ke rumahnya. Mereka juga percaya akan dukun yang membantu dalam upacara pertanian, baik saat menanam maupun saat panen. Selain itu ada tempat-tempat keramat yang mereka anggap sebagai tempat bersemayamnya para arwah.
7. Suku Lematang
Suku Lematang tinggal di daerah Lematang yang terletak di antara Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Lahat. Daerah ini berbatasan dengan daerah Kikim dan Enim. Suku ini menempati wilayah di sepanjang sungai Lematang, di sekitar kota Muaraenim dan kota Prabumulih. Asal usul orang Lematang dari kerajaan Majapahit, keturunan orang Banten dan Wali Sembilan. Orang Lematang sangat terbuka dan memiliki sifat ramah tamah dalam menyambut setiap pendatang yang ingin mengetahui seluk beluk dan keadaan daerah dan budayanya. Mereka juga memiliki rasa kebersamaan yang tinggi. Hal itu terbukti dari sikap gotong royong dan tolong menolong bukan hanya kepada masyarakat Lematang sendiri tetapi juga kepada masyarakat luar.
8. Suku Ogan
Suku Ogan terletak di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Ogan Komering Ilir. Mereka mendiami tempat sepanjang aliran Sungai Ogan dari Baturaja sampai ke Selapan. Orang ogan biasa juga disebut orang Pagagan. Suku Ogan terbagi menjadi 3 (tiga) sub-suku, yakni: Suku Pegagan Ulu, Suku Penesak, dan Suku Pegagan Ilir. Kelompok masyarakat ini adalah penduduk asli dan bertani, tetapi banyak juga yang menjadi pegawai negeri. Makanan pokok suku ini ialah hasil pertanian. 9. Suku Pasemah Suku Pasemah adalah suku yang mendiami wilayah kabupaten Empat Lawang, kabupaten Lahat, Ogan Komering Ulu, dan di sekitar kawasan gunung berapi yang masih aktif, gunung Dempo. Suku bangsa ini juga banyak yang merantau ke daerah-daerah di provinsi Bengkulu. Menurut sejarah, suku ini berasal dari keturunan Raja Darmawijaya (Majapahit) yang menyeberang ke Palembang (pulau Perca). Suku ini banyak yang tersebar di pegunungan Bukit Barisan, khususnya di lereng-lerengnya. Menurut mitologi nama Pasemah berasal dari kata Basemah yang berarti berbahasa Melayu. Hasil utama masyarakat suku ini ialah kopi, sayur-sayuran dan cengkeh dengan makanan pokoknya ialah beras.
10. Suku Sekayu
Suku Sekayu terletak di Propinsi Sumatera Selatan. Dalam wilayah Kabupaten Musi Banyuasin. Mayoritas penduduknya petani. Hasil pertaniannya adalah padi, singkong, ubi, jagung, kacang tanah dan kedelai. Hasil perkebunan yang menonjol adalah karet, cengkeh dan kopi. Industri rakyat yang terkenal berupa bata dan genteng. Suku Sekayu merupakan "manusia sungai" dan senang mendirikan rumah-rumah yang langsung berhubungan dengan sungai Musi. Tidak seperti umumnya suku-suku di Indonesia, suku Bugis, Minangkabau atau Jawa, suku Sekayu jarang berpindah-pindah ke tempat yang jauh. Keinginan untuk lebih maju dan mencari keberuntungan mereka lakukan hanya sampai di ibukota propinsi. Suku Sekayu yang tinggal di Palembang menduduki sektor-sektor pekerjaan yang penting, mulai dari guru besar/dosen universitas, ahli riset, hartawan dan pengembang lahan, pekerja galangan dan penarik becak.
11. Suku Rawas
Suku ini terletak di wilayah propinsi Sumatera Selatan, tepatnya di sekitar dua aliran sungai Rawas dan sungai Musi bagian utara. Suku ini menempati wilayah di Kecamatan Rawas Ulu, Rawas Ilir, dan Muararupit, di Kabupaten Musi Rawas. Bahasa Rawas masih tergolong ke dalam rumpun melayu. Di wilayah ini banyak terdapat kebun karet rakyat.
12. Suku Banyuasin
Suku ini terutama tinggal di kab. Musi Banyuasin yaitu di kec. Babat Toman, Banyu Lincir, Sungai Lilin, dan Banyuasin Dua dan Tiga. Umumnya mereka tinggal di dataran rendah yang diselingi rawa-rawa dan berada di daerah aliran sungai. Sungai terbesar adalah sungai Musi yang memiliki banyak anak sungai. Mata pencaharian pokoknya adalah bertani di sawah dan ladang. Mereka masih percaya terhadap berbagai takhyul, tempat keramat dan benda-benda kekuatan gaib. Mereka juga menjalani beberapa upacara dan pantangan.
ENSIKLOPEDI LAINNYA
Terkini Indonesia
Terbaik Indonesia
Travelling
Kita