I. Penduduk
Kependudukan
Jumlah penduduk provinsi Riau berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Riau tahun 2010 sebesar 5.543.031 jiwa. Kabupaten/Kota yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah Kota Pekanbaru dengan jumlah penduduk 903.902 jiwa, sedangkan Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kabupaten Kepulauan Meranti yakni sebesar 176.371 jiwa.
Suku Bangsa
Penduduk provinsi Riau terdiri
dari bermacam-macam suku bangsa. Mereka terdiri dari Jawa (25,05%), Minangkabau (11,26%), Batak (7,31%), Banjar (3,78%), Tionghoa (3,72%),
dan Bugis (2,27%). Suku Melayu merupakan
masyarakat terbesar dengan komposisi 37,74% dari seluruh penduduk Riau. Mereka
umumnya berasal dari daerah pesisir di Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis, Kepulauan
Meranti, hingga ke Pelalawan, Siak, Inderagiri Hulu dan Inderagiri Hilir. Namun
begitu, ada juga masyarakat asli bersuku rumpun Minangkabau terutama yang
berasal dari daerah Rokan Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, dan sebagian
Inderagiri Hulu. Juga masyarakat Mandailing di Rokan Hulu, yang lebih mengaku
sebagai Melayu daripada sebagai Minangkabau ataupun Batak. Abad ke-19, masyarakat Banjar dari Kalimantan
Selatan dan Bugis dari Sulawesi Selatan, juga mulai berdatangan ke Riau. Mereka banyak
bermukim di Kabupaten
Indragiri Hilirkhususnya Tembilahan. Di bukanya perusahaan pertambangan
minyak Caltex pada tahun 1940-an di Rumbai, Pekanbaru, mendorong orang-orang dari seluruh Nusantara
untuk mengadu nasib di Riau. Suku Jawa dan Sunda pada umumnya banyak berada pada kawasan transmigran. Sementara etnis Minangkabau umumnya
menjadi pedagang dan banyak bermukim pada kawasan
perkotaan seperti Pekanbaru, Bangkinang, Duri, dan Dumai. Begitu juga orang Tionghoa pada umumnya sama dengan etnis Minangkabau
yaitu menjadi pedagang dan bermukim khususnya di Pekanbaru, serta banyak juga
terdapat pada kawasan pesisir timur seperti di Bagansiapiapi, Selatpanjang, Pulau Rupat dan Bengkalis. mSelain itu di provinsi ini masih terdapat
sekumpulan masyarakat asli yang tinggal di pedalaman dan pinggir sungai,
seperti Orang Sakai, Suku Akit, Suku Talang Mamak, dan Suku Laut.
Bahasa
Bahasa pengantar masyarakat provinsi Riau pada umumnya menggunakan Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Bahasa Melayu umumnya digunakan di daerah-daerah
pesisir seperti Rokan Hilir, Bengkalis, Dumai, Pelalawan, Siak, Indragiri Hulu,
Indragiri Hilir dan di sekitar pulau-pulau. Bahasa
Minang secara luas juga digunakan oleh penduduk di provinsi ini,
terutama oleh para oleh penduduk asli di daerah Kampar, Kuantan Singingi, dan
Rokan Hulu yang berbudaya serumpun Minang serta para pendatang asal Sumatera
Barat. Selain itu Bahasa Hokkien juga masih banyak digunakan di
kalangan masyarakat Keturunan Tionghoa, terutama yang bermukim di daerah
seperti Selatpanjang, Bengkalis,
dan Bagansiapiap. Dalam
skala yang cukup besar juga didapati penutur Bahasa Jawa yang digunakan oleh
keturunan para pendatang asal Jawa yang telah bermukim di Riau sejak masa
penjajahan dahulu, serta oleh para transmigran dari Pulau Jawa pada masa
setelah kemerdekaan. Di samping itu
juga banyak penutur Bahasa Batak di kalangan pendatang dari Provinsi Sumatera
Utara.
Agama
Dilihat dari komposisi penduduk
provinsi Riau yang penuh kemajemukan dengan latar belakang sosial budaya,
bahasa, dan agama yang berbeda, pada dasarnya merupakan aset bagi daerah Riau
sendiri. Agama-agama yang dianut penduduk provinsi ini sangat beragam,
diantaranya Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, danKonghucu.
Berbagai sarana dan prasarana
peribadatan bagi masyarakat Riau sudah terdapat di provinsi ini, seperti Mesjid
Agung An-nur (Mesjid Raya di Pekanbaru), Masjid Agung Pasir Pengaraian, dan
Masjid Raya Rengat bagi umat muslim. Bagi umat Katolik/Protestan diantaranya
terdapat Gereja Santa Maria A Fatima, Gereja HKBP di Pekanbaru, GBI Dumai,
Gereja Kalam Kudus di Selatpanjang, Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus di
Bagansiapiapi, Gereja Methodist (Jemaat Wesley) di Bagansiapiapi. Bagi umat
Buddha/Tridarma ada Vihara Dharma Loka dan Vihara Cetia Tri Ratna di Pekanbaru,
Vihara Sejahtera Sakti di Selatpanjang, Kelenteng Ing Hok Kiong, Vihara Buddha
Sasana, Vihara Buddha Sakyamuni di Bagansiapiapi. Bagi Umat
Hindu adalah Pura Agung Jagatnatha di Pekanbaru.
II. Ekonomi
Geogarfi dan Sumber Daya Alam
- Geografi
Luas wilayah provinsi Riau adalah 87.023,66 km²,
yang membentang dari lereng Bukit
Barisan hingga Selat Malaka. Riau memiliki iklim tropis
basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 2000-3000 milimeter per
tahun, serta rata-rata hujan per tahun sekitar 160 hari.
-Sumber daya alam
Provinsi ini memiliki sumber
daya alam, baik kekayaan yang terkandung di perut bumi, berupa minyak bumi dan
gas, serta emas, maupun hasil hutan dan perkebunannya. Seiring dengan
diberlakukannya otonomi daerah, secara bertahap mulai diterapkan sistem bagi
hasil atau perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah. Aturan baru ini
memberi batasan tegas mengenai kewajiban penanam modal, pemanfaatan sumber
daya, dan bagi hasil dengan lingkungan sekitar.
Pertanian & perkebunan
Perkebunan yang berkembang adalah perkebunan karet dan
perkebunan kelapa sawit, baik itu yang dikelola oleh negara ataupun
oleh rakyat.
Selain itu juga terdapat perkebunan jeruk dan kelapa. Untuk luas
lahan perkebunan kelapa sawit saat ini provinsi Riau telah memiliki lahan
seluas 1.34 juta hektare. Selain itu telah terdapat sekitar 116 pabrik
pengolahan kelapa sawit (PKS) yang beroperasi dengan produksi coconut
palm oil (CPO) 3.386.800 ton per tahun.
Hutan & ikan
Deforestasi
di Indragiri Hulu
Pembangunan kehutanan pada hakekatnya mencakup semua
upaya memanfaatkan dan memantapkan fungsi sumber daya alam hutan dan sumber
daya alam hayati lain serta ekosistemnya, baik sebagai pelindung dan penyangga
kehidupan dan pelestarian keanekaragaman hayati maupun sebagai sumber daya
pembangunan. Namun dalam realitanya tiga fungsi utamanya sudah hilang, yaitu
fungsi ekonomi jangka panjang, fungsi lindung, dan estetika sebagai dampak
kebijakan pemerintah yang lalu.
Hilangnya ketiga fungsi diatas mengakibatkan semakin
luasnya lahan kritis yang diakibatkan oleh pengusahaan hutan yang mengabaikan
aspek kelestarian. Efek selanjutnya adalah semakin menurunnya produksi kayu
hutan non HPH, sementara upaya reboisasi dan penghijauan belum optimal
dilaksanakan. Masalah lain yang sangat merugikan tidak saja provinsi Riau pada
khususnya tapi Indonesia
pada umumnya, adalah masalah ilegal logging yang menyebabkan
berkurangnya kawasan hutan serta masalah pengerukan pasir secara liar.
Industri
Pada provinsi ini terdapat beberapa perusahaan berskala internasional yang bergerak di bidang minyak bumi dan gas serta pengolahan hasil hutan dan sawit. Selain itu terdapat juga industri pengolahan kopra dan karet.
Pada provinsi ini terdapat beberapa perusahaan berskala internasional yang bergerak di bidang minyak bumi dan gas serta pengolahan hasil hutan dan sawit. Selain itu terdapat juga industri pengolahan kopra dan karet.
Beberapa perusahaan besar
tersebut diantaranya Chevron
Pacific Indonesia anak perusahaan Chevron
Corporation, PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk di Perawang, dan PT. Riau
Andalan Pulp & Paper di Pangkalan
Kerinci Pertambangan Hasil pertambangan provinsi Riau
adalah Minyak bumi, Gas, dan Batu Bara.
Jalan raya yang menghubungkanSumatera
Barat dengan Riau di Kabupaten
Kampar Provinsi Riau merupakan satu-satunya provinsi yang mempunyai BUMD di bidang
transportasi udara yakni PT. Riau Air, yang bertujuan untuk
melayani daerah-daerah yang sulit dijangkau melalui jalan darat maupun laut.
Riau Air mengoperasikan Fokker-50 buatan Belanda sebanyak
lima armada, dan tahun 2008 perusahaan ini menambah dua armada lagi dengan
jenis Avro-RJ 100.
Keuangan
& Perbankan
Untuk bidang perbankkan di provinsi sangat
berkembang pesat, ini ditandai banyaknya bank swasta dan BPR, selain bank milik
pemerintah daerah seperti Bank
Riau Kepri
Pendidikan
Riau mempunyai beberapa
perguruan tinggi, di antaranya Universitas
Riau, Universitas
Islam Riau, Universitas Muhammadiyah Riau, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Universitas
Lancang Kuning, Universitas Abdurrab, Universitas Pasir
Pengaraian, Universitas Islam Indragiri, Universitas Islam Kuantan Singingi,
Politeknik Negeri Bengkalis serta Politeknik
Caltex Riau.
III. Sejarah
Etimologi
Ada tiga kemungkinan asal
kata riau yang menjadi nama provinsi ini. Pertama, dari kata Portugis, rio berarti sungai. Pada
tahun 1514, terdapat sebuah ekspedisi militer Portugis yang menelusuri Sungai Siak,
dengan tujuan mencari lokasi sebuah kerajaan yang diyakini mereka ada pada
kawasan tersebut, dan sekaligus mengejar pengikut Sultan
Mahmud Syah yang melarikan diri setelah kejatuhan Kesultanan Malaka.
Versi kedua menyebutkan bahwa riau berasal
dari kata riahi yang berarti air laut. Kata ini diduga berasal
dari tokoh Sinbad al-Bahar dalam
kitab Seribu Satu Malam, dan
versi ketiga menyebutkan bahwa kata ini berasal dari penuturan masyarakat
setempat, diangkat dari kata rioh atau riuh, yang
berarti ramai, hiruk pikuk orang bekerja. Besar kemungkinan nama ini memang
berasal dari penamaan rakyat setempat, yaitu orang Melayu yang hidup di
daerah Bintan,
yang kini masuk wilayah Kepulauan
Riau. Nama itu kemungkinan telah mulai terkenal semenjak Raja Kecik
memindahkan pusat kerajaan Melayu dari Johor ke Ulu
Riau pada tahun 1719.
Masa
prasejarah
Riau diduga telah dihuni sejak
masa antara 10.000-40.000 SM. Kesimpulan ini diambil setelah penemuan alat-alat
dari zaman Pleistosin di
daerah aliran sungai Sungai Sengingi di Kabupaten
Kuantan Singingi pada bulan Agustus 2009. Alat batu yang
ditemukan antara lain kapak penetak, perimbas, serut, serpih dan batu inti yang merupakan bahan dasar
pembuatan alat serut dan serpih. Tim peneliti juga menemukan beberapa fosil
kayu yang diprakirakan berusia lebih tua dari alat-alat batu itu. Diduga
manusia pengguna alat-alat yang ditemukan di Riau adalah pithecanthropus
erectus seperti yang pernah ditemukan di
Sangiran, Jawa Tengah.
Penemuan bukti ini membuktikan ada kehidupan lebih tua di Riau yang selama ini
selalu mengacu pada penemuan Candi
Muara Takus di Kampar sebagai
titik awalnya
Masa
pra-kolonial
Pada awal abad ke-16, Tome Pires,
seorang penjelajah Portugal, mencatat dalam bukunya, Summa Oriental bahwa
kota-kota di pesisir timur Sumatera antara suatu daerah yang disebutnya Arcat (sekitar Aru dan Rokan) hingga Jambi merupakan
pelabuhan dagang yang dikuasai oleh raja-raja dari Minangkabau. Di
wilayah tersebut, para pedagang Minangkabau mendirikan
kampung-kampung perdagangan di sepanjang Sungai Siak, Kampar, Rokan,
dan Indragiri, dan penduduk lokal mendirikan
kerajaan-kerajaan semiotonom yang diberi kebebasan untuk mengatur urusan dalam
negerinya, tetapi diwajibkan untuk membayar upeti kepada para raja Minangkabau.
Satu dari sekian banyak kampung yang terkenal adalah Senapelan yang kemudian berkembang
menjadi Pekanbaru,
yang kini menjadi ibu kota
provinsi. Sejarah Riau pada masa
pra-kolonial didominasi beberapa kerajaan otonom yang menguasai berbagai
wilayah di Riau. Kerajaan yang terawal, Kerajaan Keritang,
diduga telah muncul pada abad keenam, dengan wilayah kekuasaan diperkirakan
terletak di Keritang,
Indragiri Hilir. Kerajaan ini pernah menjadi wilayah
taklukan Majapahit, namun
seiring masukkan ajaran Islam, kerajaan tersebut dikuasai pula oleh Kesultanan Melaka.
Selain kerajaan ini, terdapat pula Kerajaan Kemuning, Kerajaan Batin Enam Suku,
dan Kerajaan
Indragiri, semuanya diduga berpusat di Indragiri Hilir.
Masa
kerajaan Melayu
-
Kesultanan Indragiri
Kesultanan Indragiri didirikan pada tahun 1298 oleh
Raja Merlang I, yang uniknya tidak berkedudukan di Indragiri, melainkan di
Melaka. Urusan
pemerintahan diserahkan pada para pembesar tradisional. Baru pada masa
kekuasaan Narasinga II sekitar tahun 1473, para raja Indragiri
mulai menetap di pusat pemerintahannya di Kota Tua. Pada tahun 1815, dibawah
Sultan Ibrahim, ibu kota kerajaan dipindahkan
ke Rengat,
yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Indragiri Hulu. Pada
masa inilah Belanda mulai campur tangan dengan urusan internal Indragiri,
termasuk dengan mengangkat seorang Sultan Muda yang berkedudukan di Peranap. Dengan adanya traktat
perdamaian dan persahabatan yang ditandatangani pada tanggal 27 September 1938
antara Indragiri dengan Belanda, maka Kesultanan Indragiri menjadi zelfbestuur lindungan
Belanda, dipimpin seorang controleur yang memegang wewenang
mutlak terhadap kekuasaan lokal.
Sultan Siak bersama para tetua
adat diafdeling Bengkalis pada 1888. Siak menyerahkan Bengkalis kepada Belanda pada
tahun 1873. Kesultanan Siak Sri Inderapura didirikan
oleh Raja Kecil dari Pagaruyung pada
tahun 1723. Siak segera saja menjadi
sebuah kekuatan besar yang dominan di wilayah Riau: atas perintah Raja Kecil,
Siak menaklukkan Rokan pada
1726 dan membangun pangkalan armada laut di Pulau
Bintan. Namun
keagresifan Raja Kecil ini segera ditandingi oleh orang-orang Bugis pimpinan
Yang Dipertuan Muda dan Raja Sulaiman. Raja Kecil terpaksa melepaskan
pengaruhnya untuk menyatukan kepulauan-kepulauan di lepas pantai timur Sumatera
di bawah bendera Siak, meskipun antara tahun 1740 hingga 1745 ia bangkit
kembali dan menaklukkan beberapa kawasan di Semenanjung
Malaya.
Di akhir abad ke-18, Siak telah menjelma menjadi
kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatera. Pada
tahun 1761, Sultan Abdul Jalil
Syah III mengikat perjanjian ekslusif dengan Belanda, dalam
urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya, serta bantuan dalam bidang
persenjataan. Walau kemudian muncul dualisme kepemimpinan di dalam tubuh kesultanan
yang awalnya tanpa ada pertentangan di antara mereka, Raja Muhammad Ali, yang
lebih disukai Belanda, kemudian menjadi penguasa Siak, sementara sepupunya Raja
Ismail, tidak disukai oleh Belanda, muncul sebagai Raja Laut,
menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Laut
Cina Selatan, membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh Tahun
1780, Siak menaklukkan daerah Langkat, termasuk
wilayah Deli dan Serdang. Di bawah
ikatan perjanjian kerjasama mereka dengan VOC, pada tahun 1784 Siak
membantu tentara Belanda menyerang dan menundukkan Selangor, dan
sebelumnya mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau
Penyengat.
Invasi Belanda yang agresif ke pantai timur Sumatera
tidak dapat dihadang oleh Siak. Belanda mempersempit wilayah kedaulatan Siak,
dengan mendirikan Keresidenan Riau (Residentie Riouw) di bawah
pemerintahan Hindia-Belanda yang berkedudukan di Tanjung
Pinang. Para
sultan Siak tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka telah terikat perjanjian
dengan Belanda. Kedudukan Siak semakin melemah dengan adanya tarik-ulur antara
Belanda dan Inggris yang
kala itu menguasai Selat Melaka,
untuk mendapatkan wilayah-wilayah strategis di pantai timur Sumatera. Para
sultan Siak saat itu terpaksa menyerah kepada kehendak Belanda dan menandatangani
perjanjian pada Juli 1873 yang menyerahkan Bengkalis kepada
Belanda, dan mulai saat itu, wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi kekuasaan
Siak satu demi satu berpindah tangan kepada Belanda. Pada masa yang hampir
bersamaan, Indragiri juga mulai dipengaruhi oleh Belanda, namun akhirnya baru
benar-benar berada di bawah kekuasaan Batavia pada tahun 1938. Penguasaan
Belanda atas Siak kelak menjadi awal pecahnya Perang Aceh. Di pesisir, Belanda bergerak
cepat menghapuskan kerajaan-kerajaan yang masih belum tunduk. Belanda menunjuk
seorang residen di Tanjung Pinang untuk mengawasi daerah-daerah
pesisir, dan Belanda berhasil memakzulkan Sultan
Riau-Lingga, Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah pada Februari 1911.
Pendudukan
Jepang
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia,
Riau menjadi salah satu sasaran utama untuk diduduki. Bala tentara Jepang menduduki
Rengat pada 31 Maret 1942. Seluruh
Riau dengan cepat tunduk di bawah pemerintahan Jepang. Salah satu peninggalan
masa pendudukan Jepang adalah jalur kereta api sepanjang
300 km yang menghubungkanMuaro Sijunjung dan Pekanbaru yang
terbengkalai. Ratusan ribu rakyat Riau dipaksa bekerja oleh tentara Jepang
untuk menyelesaikan proyek ini.
Era Kemerdekaan
Revolusi nasional dan Orde Lama
Pada awal kemerdekaan Indonesia, bekas
wilayah Keresidenan Riau dilebur dan tergabung dalam Provinsi Sumatera yang
berpusat di Bukittinggi. Seiring
dengan penumpasan simpatisan PRRI, Sumatera Tengah dimekarkan lagi menjadi tiga
provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah,
dan Sumatera Selatan.
Ketika itu, Sumatera Tengah menjadi basis terkuat dari PRRI, situasi ini
menyebabkan pemerintah pusat membuat strategi memecah Sumatera Tengah dengan
tujuan untuk melemahkan pergerakan PRRI..Selanjutnya
pada tahun 1957, berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, Sumatera
Tengah dimekarkan menjadi tiga provinsi yaitu Riau, Jambi dan Sumatera Barat.
Kemudian yang menjadi wilayah provinsi Riau yang baru terbentuk adalah bekas
wilayah Kesultanan Siak Sri Inderapura dan Keresidenan Riau serta ditambah Kampar yang
sebelumnya pada masa pendudukan tentara Jepang dimasukkan ke dalam
wilayah Rhio Shu. Riau sempat menjadi salah satu
daerah yang terpengaruh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada
akhir 1950-an. Pemerintah pusat menggelar Operasi Tegas dibawah pimpinan Kaharuddin
Nasution, yang kelak menjadi gubernur provinsi ini, dan
berhasil menumpas sisa-sisa simpatisan PRRI. Setelah situasi keamanan berangsur pulih, pemerintah
pusat mulai mempertimbangkan untuk memindahkan ibu kota provinsi dari Tanjung
Pinang ke Pekanbaru, yang secara geografis terletak di tengah-tengah.
Pemerintah akhirnya menetapkan Pekanbaru sebagai ibu kota provinsi yang baru pada 20 Januari 1959
lewat Kepmendagri No. Desember 52/I/44-25.[
Masa
Orde Baru
Setelah jatuhnya Orde Lama, Riau menjadi salah satu
tonggak pembangunan ekonomi Orde Baru yang kembali menggeliat. Pada tahun
1944, ahli geologi NPPM, Richard H. Hopper dan Toru Oki bersama timnya menemukan
sumur minyak terbesar di Asia Tenggara yaitu di Minas, Siak.
Sumur ini awalnya bernama Minas No. 1. Minas terkenal dengan
jenis minyak Sumatera Light Crude (SLC) yang baik dan memiliki kadar belerang
rendah. Pada
masa awal 1950-an, sumur-sumur minyak baru ditemukan di Minas, Duri, Bengkalis,
dan Petapahan. Eksploitasi minyak bumi di Riau dimulai di Blok Siak pada
September 1963, dengan ditandatanganinya kontrak karya dengan PT California
Texas Indonesia (kini menjadi Chevron
Pacific Indonesia). Provinsi
ini sempat diandalkan sebagai penyumbang 70 persen dari produksi minyak
nasional pada tahun 1970-an. Riau juga menjadi tujuan utama program transmigrasi yang
dicanangkan oleh pemerintahan Soeharto. Banyak
keluarga dari Pulau Jawa yang
pindah ke perkebunan-perkebunankelapa sawit yang
baru dibuka di Riau, sehingga membentuk suatu komunitas tersendiri yang kini
berjumlah cukup signifikan.
Era
reformasi
Pada tahun 1999, Saleh
Djasit terpilih menjadi putra daerah asli Riau kedua (selain Arifin Achmad) dan pertama
dipilih oleh DPRD Provinsi sebagai gubernur. Pada tahun 2003, mantan Bupati
Indragiri Hilir, Rusli Zainal, terpilih menjadi gubernur, dan terpilih
kembali lewat pemilihan langsung oleh rakyat pada tahun 2008. Mulai
tanggal 19 Februari 2014, Provinsi Riau secara resmi dipimpin oleh gubernur
baru, Annas Maamun. Setelah
kejatuhan Orde Baru, Riau menjadi salah satu sasaran provinsi yang akan
dimekarkan. Pada tahun 2002, pemerintah menetapkan pemekaran Kepulauan Riau yang
beribukota di Tanjung Pinang,
dari provinsi Riau.
IV. Pemerintahan
Berdasarkan surat keputusan
Presiden tertanggal 27 Februari 1958 nomor 258/M/1958 diangkat Mr. S.M. Amin,
sebagai Gubernur pertama provinsi Riau yang dilantik pada tanggal 5 Maret 1958
di Tanjung Pinang.
Berikut daftar kabupaten dan/atau kota di Riau
:
No.
|
Kabupaten/Kota
|
Ibu
|
1
|
Kabupaten
Bengkalis
|
Bengkalis
|
2
|
Kabupaten
Indragiri Hilir
|
Tembilahan
|
3
|
Kabupaten
Indragiri Hulu
|
Rengat
|
4
|
Kabupaten
Kampar
|
Bangkinang
|
5
|
Kabupaten
Kuantan Singingi
|
Taluk
Kuantan
|
6
|
Kabupaten
Pelalawan
|
Pangkalan
Kerinci
|
7
|
Kabupaten
Rokan Hilir
|
Bagan
Siapi-api
|
8
|
Kabupaten
Rokan Hulu
|
Pasir
Pengaraian
|
9
|
Kabupaten
Siak
|
Siak Sri
Indrapura
|
10
|
Kabupaten
Kepulauan Meranti
|
Selatpanjang
|
11
|
||
12
|
Terkini Indonesia
Terbaik Indonesia
Travelling
Kita