1. Rumah Adat
Rumah Adat Joglo mencerminkan sebuah ketenagan
hidup. Iterpretasi ini terlihat dari konstruksi atap yang kokoh dan bentuk
lengkung-lengkungan di ruang per ruang. Rumah adat merupakan warisan dari
leluhur yang tak ternilai, juga merupakan karya seni khas budaya jawa. Joglo
merupakan kerangka bangunan utama dari rumah adat Kudus. terdiri atas soko guru
berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo (tumpang sembilan) atau
tumpang telu (tumpang tiga) di atasnya. Struktur joglo yang seperti itu, selain
sebagai penopang struktur utama rumah, juga sebagai tumpuan atap rumah agar
atap rumah bisa berbentuk pencu. Rumah joglo bukan hanya sekedar konstruksi
rumah belaka, namun juga hadir sebagai seni konstruksi. Joglo juga merupakan
refleksi nilai dan norma masyarakat pendukungnya. Keindahan menjadi inti dari
rumah joglo selain sikap religiusitasnya. Itu semua terefleksi dalam arsitektur
rumah joglo.
Dalam hal pintu, joglo memiliki tiga buah pintu
masuk, yaitu pintu utama yang letaknya di tengah. Pintu kedua dan ketiga berada
di samping kiri dan kanan pintu utama. Makna simbolis terekam dari ketiga
bagian pintu tersebut bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga
besar, sementara dua pintu di samping kanan dan kiri untuk besan. Gedongan
merupakan ruang bagian dalam. Gedongan ini dijadikan sebagai mihrab, tempat
Imam memimpin salat. Gedongan ini dikaitkan dengan makna simbolis sebagai
tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan. Gedongan juga kerap digunakan
sebagai tempat tidur pengantin bagi anak-anaknya.
Jaga satru merupakan bagian lain dari rumah
joglo, yang khusus digunakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian. Sebelah
kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Di ruang jaga
satru, di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut
tiang keseimbangan atau soko geder. Tiang tersebut sebagai simbol kepemilikan
rumah dan berfungsi sebagai petanda atau tonggak untuk mengingatkan pada
pemiliknya tentang keesaan tuhan. Terdapat empat tiang utama di ruang dalam.
Tiang itu disebut soko guru yang melambangkan empat
hakikat kesempurnaan hidup. Dapat juga ditafsirkan sebagai hakikat dari sifat
manusia. Kehadiran bentangan dan tiang penyangga dengan atap bersusun
(biasanya dibiarkan menyerupai warna aslinya) menjadi ciri khas dari kehadiran
sebuah pendopo dalam rumah dengan gaya ini. Hal ini juga untuk menunjukkan
status sosial pemiliknya.
Tumpang dan sunduk merupakan penyambung atau
penghubungan bagian soko guru. Posisi tumpang di atas sunduk. Dalam bahasa
Jawa, kata “sunduk” itu sendiri berarti “penusuk”. Lapisan balok
kayu biasanya terdapat dibagian paling atas soko guru. Lapisan balok ini yang
membentuk lingkaran-lingkaran bertingkat yang melebar ke arah luar dan dalam.
Pelebaran ke bagian luar ini dinamakan elar. Dalam bahasa jawa elar berarti
sayap. Sedangkan pelebaran ke bagian dalam disebut ‘tumpang-sari’. Elar ini
menopang bidang atap, sementara Tumpang-sari menopang bidang langit langit
joglo (pamidhangan).
Rumah joglo dapat dibedakan menjadi empat bagian, yaitu Muda (Nom), Tua (Tuwa),
Laki-laki (Lanang), dan Perempuan (Wadon). Muda merupakan jogloTua merupakan
joglo yang bentuk tampilannya cenderung memanjang dan meninggi (melar). Tua
merupakan joglo yang bentuk tampilannya cenderung pendek (tidak memanjang) dan
atapnya tidak tegak/cenderung rebah (nadhah). Laki-laki merupakan joglo yang
terlihat kokoh karena rangkanya relatif tebal. Perempuan (wadon/padaringan
kebak) merupakan joglo yang rangkanya relatif tipis/pipih. Di bagian tengah
pendapa terdapat empat tiang utama yang dinamakan sakaguru. Ukurannya harus
lebih tinggi dan lebih besar dari tiang-tiang/saka-saka yang lain. Di kedua
ujung tiang-tiang ini terdapat ornamen/ukiran.
2. Seni Tradisional
Sendratari Ramayana
Sendratari Ramayana yang diadopsi dari cerita Ramayana karya Walmiki ini merupakan salah satu sendratari kolosal yang sangat terkenal di Pulau Jawa. Sendratari Ramayana awalnya diciptakan oleh seorang seniman asal Surakarta yang bernama Gusti Suryo Hamidjaja di era 60-an. Proyek awal penggarapan sendratari ini juga melibatkan Sardono Waluyo Kusumo dan didukung lebih dari 400 seniman yang berasal dari Solo dan Yogyakarta. Pertunjukkan pertama sendratari ini dipertunjukan di dekat Candi Prambanan, karena candi tersebut merupakan salah satu candi Hindu terbesar di Indonesia. Di dalam kompleks Candi Prambanan, tepatnya di Candi Siwa, terpahat cerita Ramayana. Selain itu, sendratari ini pun dipentaskan saat bulan purnama karena ingin memanfaatkan terangnya cahaya bulan.
Tari Rancak Denok
Tari Rancak Denok yang berasal dari Semarang
merupakan sebuah seni tari yang terinspirasi oleh seni topeng. Sebagai sebuah
hasil kreasi, tari Rancak Denok banyak mengambil ide dari berbagai jenis seni
tari yang menggunakan topeng sebagai propertinya, seperti halnya tari Betawi
dan Jawa Barat. Dalam tari tersebut juga memasukkan unsur Jawa dan Tiongkok
sebagai ruh dalam tarian. Secara etimologi, nama Rancak Denok berasal dari dua
buah kata, yaitu Rancak dan Denok. Rancak memiliki arti cepat dan dinamis,
sedangkan denok adalah perempuan. Secara harfiah, nama Rancak Denok bisa
diartikan sebagai tarian yang ditarikan oleh perempuan dengan gerakan yang
cepat dan dinamis serta menggunakan topeng sebagai properti utama. Biasanya
tarian ini ditarikan oleh enam orang, tetapi jumlah tersebut bukan merupakan
aturan baku. Oleh sebab itu jumlah penari bisa ditambah ataupun dikurangi, pada
intinya lebih disesuaikan dengan kebutuhan dan besar kecilnya panggung.
Tari Serimpi Sangupati
Tari serimpi merupakan sebuah tarian sakral yang
pada jaman dulu hanya dipentaskan oleh kalangan internal keraton. Kata serimpi
sendiri merujuk pada makna impi atau mimpi. Sebagai tarian yang lahir dari
kalangan Keraton Jawa, baik dari Keraton Surakarta maupun Keraton Yogyakarta. Tari serimpi itu memiliki banyak jenis, salah
satunya adalah tari serimpi sangupati. Tari serimpi ini pada awalnya diciptakan
dengan nama tari serimpi sangapati, yang berasal dari gabungan kata sang dan
apati yang secara harfiah dapat diartikan sebagai sang pengganti raja. Tari
serimpi sangupati mempunyai makna yang sangat mendalam tentang nilai-nilai
luhur dengan tujuan agar manusia bisa melawan dan mengendalikan hawa nafsunya
sendiri.
Tari Rong Tek
Nama tarian rong tek mungkin masih terdengar
asing di telinga masyarakat Jawa Tengah. Tetapi jika ditelisik lebih jauh lagi,
tari rong tek merupakan tari kreasi yang berakar dari tari lengger Banyumasan.
Secara etimologi, nama rong tek berasal dari dua kata, yaitu “Rong” yang
diambil dari suku pertama kata “ronggeng”, dalam bahasa Banyumas dapat
diartikan sebagai lengger atau penari. Sementara, kata “tek” diambil dari suara
kentongan bambu yang menjadi properti utama dalam pementasan. Dalam tradisi masyarakat Banyumas, bambu bukan
hanya sebatas tanaman. Tanaman dengan batang panjang ini juga mempunyai banyak
peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Bambu yang masih muda bisa
dijadikan sebagai bahan makanan, sementara bambu yang sudah tua bisa dijadikan
berbagai macam kerajinan. Fungsi lain dari bambu adalah bisa bisa dijadikan
sebagai alat musik dan juga alat komunikasi darurat dalam kegiatan ronda.
Ketoprak
Sebagian orang berpendapat bahwa kesenian ini
merupakan operanya orang Jawa. Ketoprak diperkirakan diciptakan pada awal abad
ke-19 oleh seorang musisi Keraton Surakarta. Lahirnya kesenian ini juga
dikaitkan dengan perjuangan rakyat terhadap para penjajah. Saat itu, masyarakat
tidak diperbolehkan untuk berkumpul karena dicurigai akan melakukan perlawan.
Oleh karena itu, dicarilah cara agar bisa berkumpul tanpa harus dibubarkan oleh
para tentara penjajah. Kesenian ini pun tumbuh dengan apa adanya. Cerita
yang dibawakan merupakan cerita sehari-hari dengan permasalahan yang
sehari-hari dialami masyarakat. Para pemainnya pun tidak memerlukan persyaratan
khusus. Mereka hanya diberi tahu garis besar cerita, tanpa naskah. Karenanya,
kemampuan berimprovisasi merupakan hal penting yang harus dimiliki seorang
pemain ketoprak. Seiring dengan perkembangannya, munculah beberapa istilah yang berkaitan dengan
pertunjukan ketoprak ini. Pertama adalah ketoprak mataram, yang muncul di era
50-an. Munculnya istilah ini berawal dari disiarkannya pertunjukan ketoprak
oleh RRI Yogyakarta.
Tari Topeng Lengger
Masyarakat Wonosobo mempunyai sebuah tarian yang
dianggap sangat sakral. Tari tersebut adalah tari topeng lengger, tarian ini
menceritakan kisah asmara antara Galuh Candra Kirana dan Panji Asmoro Bangun.
Di mana, Galuh Candra Kirana merupakan seorang putri dari Prabu Lembu Ami Joyo
yang merupakan seorang pemimpin Kerajaan Jenggolo Manik, sedangkan Panji Asmoro
Bangun adalah putra dari Prabu Ami Luhur yang merupakan seorang pemimpin dari
Kerajaan Cenggolo Puro. Dalam kisahnya, kedua kerajaan ini bermaksud ingin
mempererat hubungan lewat pernikahan kedua anak mereka. Namun, pernikahan
tersebut hampir saja gagal karena ulah dari Galuh Ajeng (anak Prabu Lembu Ami
Joyo dari selirnya).
Batik
J.L.A Brandes, seorang filolog dan arkeolog
berkebangsaan Belanda mengatakan, “jauh sebelum ada kata Indonesia, nusantara
sudah mengenal 10 unsur kebudayaan, salah satunya adalah membatik”. Pendapat
Brandes tersebut semakin diperkuat dengan ditemukannya panel sebuah motif pada
Candi Prambanan dan Borobudur. Motif tersebut diyakini oleh para peneliti
sejarah sebagai motif batik. Jika benar begitu, artinya kebudayaan membatik
sudah ada sejak abad ke-8. Secara etimologi, kata “batik” berasal dari bahasa
Jawa, yaitu “ngembat” dan “titik” yang secara harfiah diartikan dengan membuat
titik (membuat gambar). Namun, seiring dengan perkembangannya, kegiatan
membatik dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara ditulis (batik
tulis) dan di cap (batik cap)
3.Senjata Tradisional
Senjata tradional Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta secara garis besarnya hampir sama, hanya membedakan morfologi,
bentuk dan ornamen dari senjata tradisional tersebut, yaitu Keris. Selain itu dibeberapa daerah
barat Jawa Tengah seperti Banyumas, dan Cilacap terdapat Kudhi sebagai senjata
tradisionalnya.
-Keris
Sejak zaman dulu, keris selalu menjadi lambang kekuatan, baik bagi laki-laki
maupun perempuan. Pada dasarnya, keris tidak berbeda dengan senjata tradisional
lainnya. Bermata tajam serta digunakan untuk memotong, menusuk, atau mengiris.
Pada masa lalu, keris juga dipakai sebagai simbol identitas diri, baik itu
untuk diri sendiri, keluarga, atau klan. Keris seorang raja berbeda dengan
keris perwira atau abdi dalem bawahannya. Tidak hanya bilah kerisnya saja yang
berbeda tapi juga detil-detil perhiasan perangkat pelengkapnya pun berbeda.
Pembuatan
Keris telah dibuat oleh para empu pembuat keris sejak zaman dulu. Campuran antara materi baja dengan meteorit, dengan teknik tempa lipat, menjadikan keindahan fisik keris terbentuk.
Pamor
Dalam dunia perkerisan, dikenal istilah pamor daden. Pamor daden adalah pamor atau “cahaya” yang terbentuk secara spontan, tanpa rekayasa sang empu pembuat keris. Menurut percobaan yang dilakukan, keris biasanya memiliki kandungan radioaktivitas yang tinggi, oleh karenanya perlu ada cara untuk menetralkannya. Salah satu cara menetralkan bahaya radiasi itu dengan menyarungkan bilah keris ke dalam rangka kayu tertentu. Kayu-kayu yang biasa digunakan adalah kayu Timoho, Trembalu, Cendana, Awar-awar, Galih asem, Liwung, atau gading gajah. Selain itu, ada pula istilah pamor rekan atau pamor buatan. Pamor rekan adalah jika sejak awal pembuatan keris, sang empu keris menginginkan “cahaya” tertentu dari kerisnya. Ciri khas keris Solo, biasanya memiliki aksesoris banyak yang bertahtakan emas berlian serta berangka kayu cendana wangi. Dalam budaya Jawa tradisional keris tidak hanya dianggap sebagai senjata tradisional yang memiliki keunikan bentuk dan pamornya.
Perbedaan keris Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta
Keris gaya Solo disebut ladrang sedangkan Yogyakarta bernama Branggah Ladrang mempunyai bilah (sarung keris) yang lebih ramping dan sederhana tanpa banyak hiasan karena mengikuti gaya senopatenan dan mataram sultan agungan. Sementara keris Solo (Ladrang) pada bilahnya lebih banyak ornamen dan bentuk dan motif karena mengikuti cita rasa Madura dari Mpu Brojoguno. Ukiran keris solo bertekstur lebih halus daripada Yogyakarta. Juga ada perbedaan dari gagang keris, luk, dan lain sebagainya. Masing-masing memiliki filosofi sendiri-sendiri.
Pembuatan
Keris telah dibuat oleh para empu pembuat keris sejak zaman dulu. Campuran antara materi baja dengan meteorit, dengan teknik tempa lipat, menjadikan keindahan fisik keris terbentuk.
Pamor
Dalam dunia perkerisan, dikenal istilah pamor daden. Pamor daden adalah pamor atau “cahaya” yang terbentuk secara spontan, tanpa rekayasa sang empu pembuat keris. Menurut percobaan yang dilakukan, keris biasanya memiliki kandungan radioaktivitas yang tinggi, oleh karenanya perlu ada cara untuk menetralkannya. Salah satu cara menetralkan bahaya radiasi itu dengan menyarungkan bilah keris ke dalam rangka kayu tertentu. Kayu-kayu yang biasa digunakan adalah kayu Timoho, Trembalu, Cendana, Awar-awar, Galih asem, Liwung, atau gading gajah. Selain itu, ada pula istilah pamor rekan atau pamor buatan. Pamor rekan adalah jika sejak awal pembuatan keris, sang empu keris menginginkan “cahaya” tertentu dari kerisnya. Ciri khas keris Solo, biasanya memiliki aksesoris banyak yang bertahtakan emas berlian serta berangka kayu cendana wangi. Dalam budaya Jawa tradisional keris tidak hanya dianggap sebagai senjata tradisional yang memiliki keunikan bentuk dan pamornya.
Perbedaan keris Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta
Keris gaya Solo disebut ladrang sedangkan Yogyakarta bernama Branggah Ladrang mempunyai bilah (sarung keris) yang lebih ramping dan sederhana tanpa banyak hiasan karena mengikuti gaya senopatenan dan mataram sultan agungan. Sementara keris Solo (Ladrang) pada bilahnya lebih banyak ornamen dan bentuk dan motif karena mengikuti cita rasa Madura dari Mpu Brojoguno. Ukiran keris solo bertekstur lebih halus daripada Yogyakarta. Juga ada perbedaan dari gagang keris, luk, dan lain sebagainya. Masing-masing memiliki filosofi sendiri-sendiri.
Senjata Tradisional Kasunan Surakarta Hadiningratan
Pandangan di luar keraton mendefinisikan pusaka sebagai senjata yang bersifat sakral. Sedangkan dalam konteks Kasunanan Surakarta Hadiningrat, istilah pusaka dimaknai sebagai benda-benda peninggalan dari leluhur keraton yang diwariskan secara turun-temurun kepada dari Raja sebelumnya ke Raja yang selanjutnya. Jadi, yang disebut pusaka bukan hanya berupa senjata saja, melainkan benda-benda lain yang memiliki arti tersendiri bagi keraton. Namun, dalam konteks ini, akan sedikit dibahas tentang senjata pusaka yang dipunyai Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kasunanan Surakarta Hadiningrat mempunyai berbagai jenis senjata pusaka yang hingga kini masih dirawat dengan baik. Beberapa jenis senjata pusaka yang ada di Kasunanan Surakarta Hadiningrat antara lain keris, tombak, pedang, trisula, gada besi, meriam, dan sebagainya. Senjata-senjata pusaka keraton tersebut diyakini menyimpan makna magis sehingga memiliki kekuatan yang berpengaruh atau prabawa dan dianggap sebagai benda-benda sakral yang harus dihormati.
-Kudhi
Pandangan di luar keraton mendefinisikan pusaka sebagai senjata yang bersifat sakral. Sedangkan dalam konteks Kasunanan Surakarta Hadiningrat, istilah pusaka dimaknai sebagai benda-benda peninggalan dari leluhur keraton yang diwariskan secara turun-temurun kepada dari Raja sebelumnya ke Raja yang selanjutnya. Jadi, yang disebut pusaka bukan hanya berupa senjata saja, melainkan benda-benda lain yang memiliki arti tersendiri bagi keraton. Namun, dalam konteks ini, akan sedikit dibahas tentang senjata pusaka yang dipunyai Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kasunanan Surakarta Hadiningrat mempunyai berbagai jenis senjata pusaka yang hingga kini masih dirawat dengan baik. Beberapa jenis senjata pusaka yang ada di Kasunanan Surakarta Hadiningrat antara lain keris, tombak, pedang, trisula, gada besi, meriam, dan sebagainya. Senjata-senjata pusaka keraton tersebut diyakini menyimpan makna magis sehingga memiliki kekuatan yang berpengaruh atau prabawa dan dianggap sebagai benda-benda sakral yang harus dihormati.
-Kudhi
Kudhi bagi masyarakat Banyumas adalah salah satu perkakas yang serba guna,
selain juga sebagai senjata tajam yang digunakan untuk melindungi diri dari
bahaya yang mengancam. Dan sebagai sub budaya masyarakat Jawa, masyarakat
Banyumas (dan seperti kebanyakan masyarakat Jawa) didalam kesehariannya selalu
menggunakan simbol-simbol atau lambang. Simbol atau lambang tersebut bisa
berbentuk benda, tulisan, ucapan maupun upacara dan kesenian, salah satunya
Kudhi. Kudhi yang dianggap memiliki daya linuwih ini hanya dipakai sebagai
senjata jimat. Sebab kudhi semacam ini jarang dan sangat sulit didapat.
Masyarakat Banyumas sering menyebutnya dengan Kudhi Trancang.
Macam
Ada beberapa macam kudhi yang ada di Banyumas yaitu Kudhi Biasa atau yang
sering dipakai untuk segala keperluan. Kudhi ini memiliki ukuran panjang 40 cm
dan lebar 12 cm. Kemudian Kudhi Melem, kudhi yan pada bagian ujungnya seolah-olah
berbentuk ikan melem. Ukurannya lebih kecil kira-kira 30 cm panjangnya dan
lebar 10 cm. Kudhi ini berfungsi untuk membuat bilik dan pagar rumah. Dan yang
terakhir Kudhi Arit, yaitu jenis arit yang pada bagian tengahnya mempunyai
weteng (perut). Jenis ini dapat dipakai antara lain untuk keperluan mencari
kayu bakar, ramban (mencari dedaunan) atau untuk nderes (mencari nira). Ukuran
kudhi ini kira-kira 35 cm panjangnya dan 10 cm lebar perutnya.
Makna
Bagian-bagian kudhi terdiri dari; bagian ujung, perut, karah serta gagang. Bagian-bagian tersebut tidak hanya berfungsi sebagai alat pemotong semata, namun merupakan cermin dari karakter orang Banyumas yang sesungguhnya. Artinya jika kita simak secara bagian-perbagian. Ujung adalah nilai egaliterian yang ada pada masyarakat Banyumas, terhadap segala bentuk budaya lainnya. Hal ini ditunjukan pada bentuk ujung kudhi yang sama dengan senjata-senjata seperti golok, pedang dan semacamnya dari daerah lain. Bentuk perut menunjukan bahwa manusia hidup tidak hanya untuk memenuhi nafsu belaka namun ada hal yang lebih penting yaitu berusaha dan bekerja. Kemampuan perut kudhi sangat besar untuk dapat menyelesaikan pekerjaan yang berat-berat seperti membelah atau memotong obyek yang besar. Karah disini menyimbolkan bahwa penampilan (baca: materi) ternyata tidak bisa dijadikan sebagai acuan baik buruknya sifat sesorang. Hal ini dimaksudkan bahwa tidak semua karah yang bagus dan berukir akan memiliki perut dan ujung yang tajam (baca: baik). Sedangkan gagang merupakan pegangan dimana orang Banyumas didalam menyikapi hidup harus punya keyakinan yang jelas.
Bagian-bagian kudhi terdiri dari; bagian ujung, perut, karah serta gagang. Bagian-bagian tersebut tidak hanya berfungsi sebagai alat pemotong semata, namun merupakan cermin dari karakter orang Banyumas yang sesungguhnya. Artinya jika kita simak secara bagian-perbagian. Ujung adalah nilai egaliterian yang ada pada masyarakat Banyumas, terhadap segala bentuk budaya lainnya. Hal ini ditunjukan pada bentuk ujung kudhi yang sama dengan senjata-senjata seperti golok, pedang dan semacamnya dari daerah lain. Bentuk perut menunjukan bahwa manusia hidup tidak hanya untuk memenuhi nafsu belaka namun ada hal yang lebih penting yaitu berusaha dan bekerja. Kemampuan perut kudhi sangat besar untuk dapat menyelesaikan pekerjaan yang berat-berat seperti membelah atau memotong obyek yang besar. Karah disini menyimbolkan bahwa penampilan (baca: materi) ternyata tidak bisa dijadikan sebagai acuan baik buruknya sifat sesorang. Hal ini dimaksudkan bahwa tidak semua karah yang bagus dan berukir akan memiliki perut dan ujung yang tajam (baca: baik). Sedangkan gagang merupakan pegangan dimana orang Banyumas didalam menyikapi hidup harus punya keyakinan yang jelas.
4. Pakaian Adat
Pakaian Adat Wanita
Untuk acara-acara resmi, wanita Jawa menggunakan pakaian
adat Jawa Tengah yang menggunakan peniti renteng, dipadukan dengan
kain batik sebagai bawahannya. Rambut wanita Jawa yang panjang digelung atau
dikonde, dan dilengkapi dengan tusuk rambut yang sesuai macamnya dengan
perhiasan lain yang dia kenakan, seperti kalung, gelang, cincin, tak lupa juga
kipas sebagai pelengkap aksesoris yang mereka pakai. Pada pakaian adat Jawa
Tengah bagi wanita, baju kebaya dipakai dengan kain jarik yang diwiru atau
dilipat kecil-kecil dan dililitkan ke kiri dan ke kanan. Jarik lalu ditutup
dengan menggunakan stagen atau kain yang dililit di perut agar jarik tidak
mudah lepas. Untuk menutup stagen, wanita Jawa Tengah memakai selendang
berwarna pelangi dari kain tenun berwarna semarak/cerah. Pakaian mereka
biasanya dilengkapi dengan aksesoris seperti cincin, gelang, kalung, subang
(anting) dan tusuk konde yang berwarna dan bertema senada.
Pakaian Adat Pria
Bagi priyayi keraton, baju beskap bermotif bunga
merupakan pakaian adat Jawa Tengah yang harus mereka pakai dalam kesehariannya.
Di kepala, mereka memakai blangkon atau biasa disebut destar, dan bawahan yang
kurang lebih bermodel sama seperti pakaian adat bagi wanita: kain jarik yang
pemakaiannya dilapisi stagen agar tidak mudah terlepas. Mereka juga menggunakan
alas kaki yang disebut cemila dana membawa keris yang disematkan pada stagen
mereka di bagian punggung atau belakang di stagen. Pakaian pria Jawa yang
seperti ini disebut sebagai pakaian Jawi Jangkep, atau pakaian adat Jawa
lengkap dengan kerisnya. Sedangkan di kalangan rakyat selain para priyayi, para
lelaki menggunakan celana pendek selutut atau celana kolor yang berwarna hitam
dengan baju atasan lengan panjang. Di samping itu mereka juga mengenakan ikat
pinggang yang berukuran besar, ikat di kepala, dan kain sarung.
5. Suku
Suku Samin - Blora, dan Bojonegoro - Jawa Tengah
Mayoritas penduduk Jawa Tengah adalah Suku Jawa.
Jawa Tengah dikenal sebagai pusat budaya Jawa, di mana di kota Surakarta danYogyakarta terdapat
pusat istana kerajaan Jawa yang masih berdiri hingga kini. Suku minoritas yang
cukup signifikan adalah Tionghoa, terutama di kawasan perkotaan meskipun di daerah
pedesaan juga ditemukan. Pada umumnya mereka bergerak di bidang perdagangan dan
jasa. Komunitas Tionghoa sudah berbaur dengan Suku Jawa, dan banyak di antara
mereka yang menggunakan Bahasa Jawa dengan logat yang kental sehari-harinya.
Pengaruh kental bisa kita rasakan saat berada di kota Semarang serta
kota Lasem yang
berada di ujung timur laut Jawa Tengah, bahkan Lasem dijuluki
Le Petit Chinois atau Kota Tiongkok Kecil. Selain itu di beberapa kota-kota
besar di Jawa Tengah ditemukan pula komunitas Arab-Indonesia.
Mirip dengan komunitas Tionghoa, mereka biasanya bergerak di bidang perdagangan
dan jasa. Di daerah perbatasan dengan Jawa Barat terdapat pula orang Sunda yang
sarat akan budaya Sunda, terutama di wilayah Cilacap, Brebes, dan Banyumas. Di
pedalaman Blora (perbatasan
dengan provinsi Jawa Timur) terdapat komunitas Samin yang
terisolir, yang kasusnya hampir sama dengan orang
Kanekes di Banten.
6. Bahasa
Meskipun Bahasa
Indonesia adalah bahasa resmi, umumnya sebagian besar menggunakan Bahasa
Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Jawa Dialek Solo-Jogja atau
Mataram dianggap sebagai Bahasa Jawa Standar. Di samping itu terdapat sejumlah dialek Bahasa
Jawa; namun secara umum terdiri dari dua, yakni kulonan dan timuran. Kulonan dituturkan
di bagian barat Jawa Tengah, terdiri atas Dialek Banyumasan dan Dialek Tegal;
dialek ini memiliki pengucapan yang cukup berbeda denganBahasa Jawa Standar.
Sedang Timuran dituturkan di bagian timur Jawa Tengah, di
antaranya terdiri atas Dialek Mataram (Solo-Jogja), Dialek Semarang, dan Dialek
Pati. Di antara perbatasan kedua dialek tersebut, dituturkan Bahasa Jawa dengan
campuran kedua dialek; daerah tersebut di antaranya adalah Pekalongan dan Kedu. Di wilayah-wilayah berpopulasi Sunda, yaitu di Kabupaten Brebes bagian
selatan, dan Kabupaten Cilacap utara sekitar kecamatan Dayeuhluhur, orang Sunda masih menggunakan
bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-harinya.,
Berbagai macam dialek Bahasa
Jawa yang terdapat di Jawa Tengah :
- Dialek Pekalongan (Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang)
- Dialek Kedu (Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonosobo, Kota
Magelang)
- Dialek Bagelen (Kabupaten Purworejo)
- Dialek Semarangan (Kota
Semarang, Kabupaten Semarang, Kota
Salatiga, Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak)
- Dialek Muria/Pantura Timur (Kabupaten Jepara, Kabupaten Rembang, Kabupaten Kudus, Kabupaten
Pati)
- Dialek Blora (Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora)
- Dialek Surakarta (Kota
Surakarta, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sragen, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar)
- Dialek Banyumasan (Kabupaten Banyumas, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Cilacap)
- Dialek Tegal (Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kabupaten Pemalang)
Berbagai macam dialek Bahasa
Sunda yang terdapat di Jawa Tengah :
- Bahasa Sunda dialek Timur-Laut, yang digunakan di wilayah Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Cirebon di provinsi Jawa Barat juga digunakan
pada wilayah Kabupaten Brebes bagian Barat dan
Selatan yang merupakan wilayah provinsi Jawa Tengah.
- Bahasa Sunda dialek Tenggara, yang digunakan di wilayah Kabupaten Ciamis sekitar Kota Ciamis dan Kota
Banjar di provinsi Jawa Barat juga digunakan
pada wilayah Kabupaten Cilacap bagian Utara yang
merupakan wilayah provinsi Jawa Tengah
7. Lagu Daerah
-
Bapak Pucung
-
Gambang Suling
-
Gek Kepriye
-
Gundul Pacul
-
Lir Ilir
-
Jamuran
-
Jaranan
-
Padang Wulan
ENSIKLOPEDI LAINNYA
ENSIKLOPEDI LAINNYA
Terkini Indonesia
Terbaik Indonesia
Travelling
Kita