I. Penduduk
Suku bangsa dominan di
Kalimantan Tengah yaitu Suku Dayak, Suku Banjar dan Suku Jawa. Suku Dayak terutama menempati
daerah pedalaman, Suku Banjar sebagian besar menempati kawasan perkotaan dan
Suku Jawa mendiami kawasan transmigrasi. Suku transmigran lainnya yang terdapat
di Kalteng yaitu Suku Madura, Suku Sunda, Suku Bali dan kelompok etnis asal Nusa Tenggara Timur.
Selain itu terdapat pula Suku Melayu yang
menempati pesisir Sukamara dan Kotawaringin
Barat, Suku Batak dan
suku-suku lainnya dari berbagai daerah di Indonesia. Menurut Lontaan dan Sanusi
(1976: 2-3), terdapat 10 suku asli yang mendiami wilayah Kotawaringin Barat,
dan berinduk pada Suku Dayak Ngaju. Kesepuluh suku itu adalah Suku Mendawai,
Suku Ruku Mapaan, Suku Darat, Suku Lamandau, Suku Bulik, Suku Mentobi, Suku
Belantikan, Suku Batang Kana/Kawak, Suku Delang Ulu dan Ilir, dan Suku Banjar
(Lontaan dan Sanusi, 1976: 2-3). Kedatangan Suku Banjar (yang juga merupakan
suku dari Sultan) di daerah Kotawaringin yang termasuk wilayah Kalimantan
Tengah terkait dengan berdirinya Keadipatian Kotawaringin sekitar 5 abad yang
lalu.
Komposisi etnis di
Kalteng berdasarkan sensus tahun 2000 terdiri suku Banjar (24,20%), Jawa
(18,06%), Ngaju (18,02%), Dayak Sampit (9,57%), Bakumpai (7,51%), Madura
(3,46%), Katingan (3,34%) dan Maanyan (2,80%). Besarnya proporsi Suku Banjar
dan Jawa di Kalimantan Tengah karena perantauan orang Banjar asal Kalimantan Selatan dan
transmigrasi asal Jawa yang cukup besar ke Kalimantan
Tengah. Jika digabungkan jumlah
suku Dayak di Kalimantan Tengah (Ngaju, Sampit, Bakumpai, Katingan, Maanyan)
mencapai 41,24%.
Komposisi Suku Bangsa di
Kalimantan Tengah berdasarkan Sensus 2000, yaitu:
Nomor
|
Suku bangsa
|
Jumlah
|
Konsentrasi
|
1
|
Dayak
|
742.729
|
41,24%
|
2
|
Banjar
|
435.758
|
24,20%
|
3
|
Jawa
|
325.160
|
18,06%
|
4
|
Madura
|
62.228
|
3,46%
|
5
|
Sunda
|
24.479
|
1,36%
|
6
|
Suku-suku lainnya (Melayu, Tionghoa, Arab,
Batak, Bugis, Bali, Flores (NTT)
dll)
|
210.359
|
11,69%
|
Total
|
1.800.713
|
100,00%
|
Agama yang dipeluk
masyarakat Kalimantan Tengah, yaitu :
Nomor
|
Agama
|
Jumlah
|
Konsentrasi
|
Keterangan
|
1
|
Islam
|
1.643.715
|
74,31%
|
dipeluk oleh Suku
Banjar, Jawa, Melayu, Dayak Bakumpai, Madura, Sunda, serta sebagian Suku
Dayak Ngaju, Sampit, Katingan, Maanyan dan Suku Batak
|
2
|
Kristen (Protestan dan Katolik)
|
411.632
|
18,60%
|
dipeluk oleh sebagian
Suku Dayak Ngaju, Sampit, Katingan, Maanyan, Suku Batak serta sebagian kecil
Suku Jawa
|
3
|
Lainnya
|
138.419
|
6,26%
|
Kaharingan adalah kepercayaan
penduduk asli Kalimantan Tengah yang pada Sensus 2010 digabungkan dalam
kelompok Lainnya. Penganut Agama Kaharingan tersebar di daerah Kalimantan
Tengah dan banyak terdapat di bagian hulu sungai, antara lain hulu sungai Kahayan, sungai Katingan dan hulu sungai lainnya.
|
4
|
Hindu
|
11.149
|
0,50%
|
dipeluk oleh Suku Bali
transmigran
|
5
|
Buddha
|
2.301
|
0,10%
|
dipeluk oleh orang
Tionghoa
|
Penduduk Angkatan Kerja Usia 15 Tahun Lebih Menurut
Kegiatan
Kegiatan utama
|
Februari 2006
|
Agustus 2006
|
Februari 2007
|
Februari 2008
|
Penduduk Usia 15 Tahun Lebih
|
1.387.244
|
1.398.307
|
1.411.568
|
1.438.271
|
Angkatan Kerja
|
991.764
|
944.266
|
1.100.430
|
1.077.831
|
Bekerja
|
991.764
|
944.266
|
1.045.186
|
1.026.211
|
II. Ekonomi
Keanekaragaman hayati
Banyak yang belum
diketahui, dengan ragam wilayah pantai, gunung/bukit, dataran rendah dan paya,
segala macam vegetasi tropis mendominasi alam daerah ini. Orangutan merupakan hewan
endemik yang masih banyak di Kalimantan Tengah, khususnya di wilayah Taman Nasional Tanjung Puting yang
memiliki areal mencapai 300.000 ha di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan.
Terdapat beruang, landak, owa-owa, beruk, kera, bekantan, trenggiling, buaya,
kukang, paus air tawar (tampahas), arwana, manjuhan, biota laut, penyu, bulus,
burung rangkong, betet/beo dan hewan lain yang bervariasi tinggi.
Sumber daya alam
Hutan mendominasi wilayah
80%. Hutan primer tersisa sekitar 25% dari luas wilayah. Lahan yang luas saat
ini mulai didominasi kebun Kelapa Sawit yang mencapai 700.000 ha (2007).
Perkebunan karet dan rotan rakyat masih tersebar hampir diseluruh daerah,
terutama di Kabupaten Kapuas, Katingan, Pulang Pisau, Gunung Mas dan
Kotawaringin Timur. Banyak ragam potensi
sumber alam, antara lain yang sudah diusahakan berupa tambang batubara, emas,
zirkon, besi. Terdapat pula tembaga, kaolin, batu permata dan lain-lain.
Potensi perikanan
Potensi perikanan di
Kalimantan Tengah sangat besar, khususnya perikanan air tawar. Hal itu
dikarenakan luasnya wilayah perairan tawar seperti sungai, danau dan rawa di
Kalimantan Tengah.
Pertambangan
Sebagian besar penduduk
di wilayah Katingan, Khususnya Kecamatan Katingan Tengah bermata pencaharian
sebagai petani dan penambang. Hasil tambang utama yang diperoleh adalah emas
dan puya (pasir zirkon) yang berwarna merah. Masyarakat dalam melakukan
penambangan masih bersifat tradisional sehingga hasil yang diperoleh tidak
optimal.
Transportasi
Bandar udara Tjilik Riwut Palangka
Raya melayani penerbangan dari dan ke Surabaya dan Jakarta direct,
menggunakan pesawat jet jenis Boeing 737-200, 737-300 dan 737-400. Penerbangan
ini dilayani oleh 4 maskapai, yaitu: Sriwijaya Air, Garuda Indonesia, Lion Air
dan Batavia Air. Bandar udara kesayangan masyarakat Palangka Raya ini memilikipcn
29 fczu, bisa dilintasi dengan mobil maupun taksi.
III. Pendidikan
Geliat dunia pendidikan
di Kalimantan Tengah sekarang sedang berkembang dengan pesat. Hal tersebut
ditandai dengan bermunculannya berbagai lembaga pendidikan serta keberadaan
beberapa Universitas dan Sekolah Tinggi. Universitas
Negeri Palangka Raya dan Untama - Universitas Anta Kusuma merupakan
Universitas-universitas Negeri yang ada di Kalimantan Tengah, selain itu
terdapat Universitas Muhammadiyah serta beberapa perguruan tinggi lainnya yang
ikut memberikan sumbangan dalam meningkatkan mutu pendidikan di Kalimantan
Tengah, seperti Sekolah
Tinggi Ilmu Hukum Tambun Bungai serta Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer
Palangka Raya. Tak lupa pula berbagai Universitas maupun Sekolah
Tinggi rintisan yang terdapat di Kabupaten yang ada di Kalimantan Tengah.
IV. Sejarah
Menurut legenda suku Dayak yang
berasal dari Panaturan Tetek Tatum yang
ditulis oleh Tjilik Riwut mengisahkan orang pertama yang menempati bumi atau
menginjakan kakinya di Kalimantan adalah Raja Bunu. Pada
abad ke-14 Maharaja Suryanata, gubernur Majapahit memerintah di Kerajaan Negara Dipa (Amuntai) yang
berpusat di Candi Agung dengan wilayah mandalanya dariTanjung
Silat sampai Tanjung
Puting dengan daerah-daerah yang disebut Sakai, yaitu daerah sungai
Barito, Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit, Labuan Amas, Biaju Kecil
(Kapuas-Murung), Biaju Besar (Kahayan), Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit
dan Pembuang dengan kepala-kepala daerahnya masing-masing yang disebut Mantri
Sakai (Kepala Distrik), sedangkan wilayah Kotawaringin pada masa itu
merupakan kerajaan tersendiri. Kerajaan
Negara Dipa dilanjutkan oleh Kerajaan Negara Daha dengan raja
pertamanya Miharaja Sari Babunangan Unro [miharaja= maharaja].
Raja tersebut telah mengantar salah seorang puteranya yang bernama Raden Sira
Panji alias Uria Gadung [Uria= Aria] untuk memegang kekuasaan wilayah Tanah
Dusun [atau Barito Raya] yang berkedudukan di JAAR – SANGGARWASI.
Pada abad ke-16,
Kalimantan Tengah masih termasuk dalam wilayah mandala Kesultanan
Banjar, penerus Negara Daha yang telah memindahkan ibukota ke hilir sungai
Barito tepatnya di Banjarmasin, dengan wilayah mandalanya yang semakin
meluas meliputi daerah-daerah dari Tanjung
Sambar sampai Tanjung Aru. Pada abad ke-16,
berkuasalah Raja Maruhum Panambahan yang
beristrikan Nyai Siti Biang Lawai, seorang puteri Dayak anak Patih Rumbih
dari Biaju. Tentara Biaju kerapkali dilibatkan dalam revolusi di istana Banjar,
bahkan dengan aksi pemotongan kepala (ngayau) misalnya
saudara muda Nyai Biang Lawai bernama Panglima Sorang yang diberi gelar Nanang
Sarang membantu Raja Maruhum menumpas pemberontakan anak-anak Kiai Di
Podok. Selain itu orang Biaju (sebutan Dayak pada zaman dulu) juga pernah
membantu Pangeran Dipati Anom (ke-2) untuk
merebut tahta dari Sultan Ri'ayatullah. Raja Maruhum
menugaskan Dipati Ngganding untuk memerintah di negeri Kotawaringin. Dipati Ngganding digantikan
oleh menantunya, yaitu Pangeran Dipati Anta-Kasuma putra
Raja Maruhum sebagai raja Kotawaringin yang pertama dengan gelar Ratu Kota
Waringin. Pangeran Dipati Anta-Kasuma adalah suami dari Andin Juluk binti
Dipati Ngganding dan Nyai Tapu binti Mantri Kahayan. Di
Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma menikahi
wanita setempat dan memperoleh anak, yaitu Pangeran Amas dan Putri Lanting. Pangeran
Amas yang bergelar Ratu Amas inilah yang menjadi raja Kotawaringin,
penggantinya berlanjut hingga Raja Kotawaringin sekarang, yaitu Pangeran
Ratu Alidin Sukma Alamsyah. Kontrak pertama Kotawaringin dengan
VOC-Belanda terjadi pada tahun 1637. Menurut
laporan Radermacher, pada tahun 1780 telah terdapat pemerintahan pribumi
seperti Kyai Ingebai Suradi Raya kepala daerah Mendawai, Kyai Ingebai Sudi Ratu
kepala daerah Sampit, Raden Jaya kepala daerah Pembuang dan kerajaan
Kotawaringin dengan rajanya yang bergelar Ratu Kota Ringin
Berdasarkan traktat 13 Agustus 1787, Sultan
Batu dari Banjarmasin menyerahkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan
(termasuk Banjarmasin) kepada VOC, sedangkan Kesultanan
Banjar sendiri dengan wilayahnya yang tersisa sepanjang daerah Kuin
Utara, Martapura, Hulu Sungai sampai Distrik Pattai, Distrik
Sihoeng dan Mengkatip menjadi
daerah protektorat VOC, Belanda. Pada tanggal 4 Mei 1826 Sultan
Adam al-Watsiq Billah dari Banjar menegaskan kembali penyerahan
wilayah Kalimantan Tengah beserta daerah-daerah lainnya kepada pemerintahan
kolonial Hindia Belanda. Secara de facto wilayah pedalaman Kalimantan Tengah
tunduk kepada Hindia Belanda semenjak Perjanjian Tumbang Anoi pada tahun 1894.
Selanjutnya kepala-kepala daerah di Kalimantan Tengah berada di bawah Hindia
Belanda. Sekitar
tahun 1850, daerah Tanah Dusun (Barito Raya) terbagi dalam beberapa
daerah pemerintahan yaitu: Kiaij Martipatie, Moeroeng Sikamat, Dermawijaija,
Kiaij Dermapatie, Ihanjah dan Mankatip. Sejak tahun 1845, Hindia Belanda membuat susunan pemerintahan untuk daerah
zuid-ooster-afdeeling van Borneo [meliputi daerah sungai
Kahayan, sungai Kapuas Murung, sungai Barito, sungai Negara serta Tanah
Laut] selain Residen terdapat juga Rijksbestierder alias Kepala Pemerintahan Pangeran Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana.
Di dalam hierarki pemerintahan tersebut terdapat nama kepala suku Dayak seperti Tumenggung Surapati dan Toemenggoeng Nicodemus Djaija
Negara. Berdasarkan Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, daerah-daerah di
wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling menurut Bêsluit van
den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27
Agustus 1849, No. 8. Daerah-daerah
di Kalteng tergolang sebagai negara dependen dan distrik dalam Kesultanan
Banjar. Sebelum abad XIV, daerah
Kalimantan Tengah termasuk daerah yang masih murni, belum ada pendatang dari
daerah lain. Saat itu satu-satunya alat transportasi adalah perahu. Tahun 1350
Kerajaan Hindu mulai memasuki daerah Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan Hindu
dapat dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi
Menteri Kerajaan.
Tahun 1520, pada waktu
pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kesultanan Demak, agama Islam
mulai berkembang di Kotawaringin. Tahun 1615 Kesultanan Banjar mendirikan
Kerajaan Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah. Daerah-daerah
tersebut ialah : Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan daerah-daerah
lain tetap bebas secara otonom menjalankan hukum adat Dayak-Kaharingan,
dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari antara mereka yang
menarik diri masuk ke pedalaman. Di daerah Pematang Sawang Pulau Kupang, dekat
Kapuas, Kota Bataguh pernah terjadi perang besar. Perempuan Dayak bernama Nyai
Undang memegang peranan dalam peperangan itu. Nyai Undang didampingi oleh para
satria gagah perkasa, diantaranya Tambun, Bungai, Andin Sindai, dan Tawala Rawa
Raca. Di kemudian hari nama pahlawan gagah perkasa Tambun Bungai, menjadi nama
Kodam XI Tambun Bungai, Kalimantan Tengah. Tahun 1787, dengan adanya perjanjian
antara Sultan Banjar dengan VOC, berakibat daerah Kalimantan Tengah, bahkan
nyaris seluruh daerah, dikuasai VOC. Sekitar tahun 1835 misionaris Kristen
mulai beraktifitas secara leluasa di selatan Kalimantan. Pada 26 Juni 1835, Barnstein,
penginjil pertama Kalimantan tiba dan mulai menyebarkan agama Kristen di
Banjarmasin. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya
misionaris. Pada
tanggal 1 Mei 1859 pemerintah Hindia Belanda membuka pelabuhan di Sampit.
Tahun 1917, Pemerintah
Penjajah mulai mengangkat masyarakat setempat untuk dijadikan petugas-petugas
pemerintahannya, dengan pengawasan langsung oleh para penjajah sendiri. Sejak
abad XIX, penjajah mulai mengadakan ekspedisi masuk pedalaman Kalimantan dengan
maksud untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun penduduk pribumi, tidak begitu
saja mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan kepada para penjajah mereka
lakukan hingga abad XX. Perlawanan secara frontal, berakhir tahun 1905, setelah
Sultan Mohamad Seman gugur sebagai kusuma bangsa di Sungai Menawing dan
dimakamkan di Puruk Cahu. Tahun 1835, Agama Kristen Protestan mulai masuk ke
pedalaman. Hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, para
penjajah tidak mampu menguasai Kalimantan secara menyeluruh. Penduduk asli
tetap bertahan dan mengadakan perlawanan. Pada Agustus 1935 terjadi pertempuran
antara suku Dayak Punan yaitu Oot Marikit dengan kaum penjajah. Pertempuran
diakhiri dengan perdamaian di Sampit antara Oot Marikit dengan menantunya
Pangenan atau Panganon dengan Pemerintah Belanda.
Menurut Hermogenes Ugang,
pada abad ke 17, seorang misionaris Roma Katholik bernama Antonio Ventimiglia
pernah datang ke Banjarmasin. Dengan perjuangan gigih dan ketekunannya
hilir-mudik mengarungi sungai besar di Kalimantan dengan perahu yang telah
dilengkapi altar untuk mengurbankan Misa, ia berhasil membaptiskan tiga ribu
orang Ngaju menjadi Katholik. Pekerjaan dia dipusatkan di daerah hulu Kapuas
(Manusup) dan pengaruh pekerjaan dia terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas
perintah Sultan Banjarmasin, Pastor Antonius
Ventimiglia kemudian dibunuh. Alasan pembunuhan adalah karena Pastor
Ventimiglia sangat mengasihi orang Ngaju, sementara saat itu orang-orang Ngaju
mempunyai hubungan yang kurang baik dengan Sultan Surya Alam/Tahliluulah,
karena orang Biaju (Ngaju) pendukung Gusti Ranuwijaya penguasa Tanah
Dusun-saingannya Sultan Surya Alam/Tahlilullah dalam perdagangan lada. Dengan
terbunuhnya Pastor Ventimiglia maka beribu-ribu umat Katholik orang Ngaju yang
telah dibapbtiskannya, kembali kepada iman asli milik leluhur mereka. Yang
tertinggal hanyalah tanda-tanda salib yang pernah dikenalkan oleh Pastor
Ventimiglia kepada mereka. Namun tanda salib tersebut telah kehilangan arti
yang sebenarnya. Tanda salib hanya menjadi benda fetis (jimat) yang berkhasiat
magis sebagai penolak bala yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan lapak
lampinak dalam bahasa Dayak atau cacak burung dalam bahasa Banjar.
Pada masa penjajahan,
suku Dayak di daerah Kalimantan Tengah, sekalipun telah bersosialisasi dengan
pendatang, namun tetap berada dalam lingkungannya sendiri. Tahun 1919, generasi
muda Dayak yang telah mengenyam pendidikan formal, mengusahakan kemajuan bagi
masyarakat sukunya dengan mendirikan Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, yang
dipelopori oleh Hausman Babu, M. Lampe , Philips Sinar, Haji Abdulgani, Sian,
Lui Kamis, Tamanggung Tundan, dan masih banyak lainnya. Serikat Dayak dan
Koperasi Dayak, bergerak aktif hingga tahun 1926. Sejak saat itu, Suku Dayak
menjadi lebih mengenal keadaan zaman dan mulai bergerak. Tahun 1928, kedua organisasi
tersebut dilebur menjadi Pakat Dayak, yang bergerak dalam bidang sosial,
ekonomi dan politik. Mereka yang terlibat aktif dalam kegiatan tersebut ialah
Hausman Babu, Anton Samat, Loei Kamis. Kemudian dilanjutkan oleh Mahir Mahar,
C. Luran, H. Nyangkal, Oto Ibrahim, Philips Sinar, E.S. Handuran, Amir Hasan,
Christian Nyunting, Tjilik Riwut, dan masih banyak lainnya. Pakat Dayak
meneruskan perjuangan, hingga bubarnya pemerintahan Belanda di Indonesia. Tahun 1945, Persatuan
Dayak yang berpusat di Pontianak, kemudian mempunyai cabang di seluruh
Kalimantan, dipelopori oleh J. Uvang Uray , F.J. Palaunsuka, A. Djaelani, T.
Brahim, F.D. Leiden. Pada tahun 1959, Persatuan Dayak bubar, kemudian bergabung
dengan PNI dan Partindo. Akhirnya Partindo Kalimantan Barat meleburkan diri
menjadi IPKI. Di daerah Kalimantan Timur berdiri Persukai atau Persatuan Suku
Kalimantan Indonesia dibawah pimpinan Kamuk Tupak, W. Bungai, Muchtar, R.
Magat, dan masih banyak lainnya. Tahun 1942, Kalimantan Tengah disebut
Afdeeling Kapoeas-Barito yang terbagi 6 divisi
V. Pemerintahan
Provinsi Kalimantan
Tengah dibagi menjadi beberapa Daerah Tingkat II, yaitu:
No.
|
Kabupaten/Kota
|
Ibu kota
|
1
|
Kabupaten Barito Selatan
|
Buntok
|
2
|
Kabupaten Barito Timur
|
Tamiang Layang
|
3
|
Kabupaten Barito Utara
|
Muara Teweh
|
4
|
Kabupaten Gunung Mas
|
Kuala Kurun
|
5
|
Kabupaten
Kapuas
|
Kuala Kapuas
|
6
|
Kabupaten Katingan
|
Kasongan
|
7
|
Kabupaten Kotawaringin Barat
|
Pangkalan Bun
|
8
|
Kabupaten Kotawaringin Timur
|
Sampit
|
9
|
Kabupaten Lamandau
|
Nanga Bulik
|
10
|
Kabupaten Murung Raya
|
Puruk Cahu
|
11
|
Kabupaten Pulang Pisau
|
Pulang Pisau
|
12
|
Kabupaten Sukamara
|
Sukamara
|
13
|
Kabupaten Seruyan
|
Kuala Pembuang
|
14
|
Kota Muara Teweh
|
|
15
|
Kota Palangka Raya
|
|
16
|
Kota Pangkalan Bun
|
|
17
|
Kota
Sampit
|
ENSIKLOPEDI LAINNYA
Terkini Indonesia
Terbaik Indonesia
Travelling
Kita