Bung Hatta dan Sepatu Bally
Kepulangan Bung Hatta 34 tahun silam, tepatnya 14 Maret 1980 dan dimakamkan
di Tanah Kusir, meninggalkan duka yang teramat dalam bagi Bangsa Indonesia.
Sang Proklamator “Bung Hatta” telah
meninggalkan hadiah yang luar biasa bagi
kita yaitu “Kemerdekaan”.
Banyak yang tidak begitu mengenal namanya sebagai Proklamtor, jika bukan
hanya nama “Bung Karno” yang selalu
tertanam dalam hati Bangsa Indonesia. Setidaknya kita jangan “melawan lupa”. Bahwa tanpa jasa beliau
negara ini juga tidak akan merdeka. Kita mungkin tidak dapat menikmati dan
mengisi pembangunan ini tanpa jasa beliau.
Bung Hatta lahir di Bukit Tinggi , 12 Agustus 1902 dengan nama Muhammad
Athar. Hatta kecil adalah anak dari seorang priyai dan cucu ulama terpandang di
daerah itu. Kakeknya Abdurahman Batuhampar adalah pendiri Surau Batuhampar.
Ketika itu sangat sedikit surau yang bertahan pasca Perang Padri.
Sebagai anak seorang priyai tentunya ia mempunyai akses yang terbuka luas
untuk dapat menempuh pendidikan hingga tingkat tinggi. Mohammad Hatta pertama
kali menempuh pendidikan formal di sekolah swasta bersama kakaknya Rafiah.
(Muhammad Hatta adalah anak kedua dari seorang Ayah yang bernama Muhammad
Djamil dan Ibu yang bernama Siti Saleha. Lalu ketika Hatta berumur tujuh bulan
ayahnya meninggal dan ibunya menikah kembali dengan Agus Haji Ning seorang
pedagang asal Palembang). Setelah itu ia melanjutkan ELS dan MULO sampai tahun
1917. Karena dibesarkan dari lingkungan ulama dan pedagangan dari ayah tirinya.
Hatta muda banyak dipengaruhi oleh ajaran perekonomian. Bahkan ia
tergabung dalam anggota serikat muda
Jong Sumtera Bond dan ditunjuk sebagai bendahara. Kegiatannya tetap dilakukan
ketika ia bersekolah di Prins Hendrik School Jakarta. Setelah itu Hatta muda
melanjutkan pendidikannya ke Handels Hoogeschool sekarang sekolah ini bernama
Universitas Erasmus Rotterdam.
Banyak yang tidak tahu Bahwa Hatta Muda sering mengalami pergolakan dalam
dirinya. Ia merasa seharusnya sebagai Generasi Muda dapat memberikan kontribusi
yang nyata bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tidak heran, jika Hatta muda
sering mengalami pengasingan akibat perjuangannya.
Salah satu pengasingan terhebat ia terima ketika ia dikirim ke Digul, Irian
Jaya pada tahun 1932-1941. Bersama Syahrir ia dibuang ke Digul dan Banda Neira
dengan alasan tidak bisa bekerjasama dengan Belanda dan dicap sebagai Komunis.
Di Digul ia banyak menulis pemberitaan untuk surat kabar dan majalah di
Jakarta. Hatta sangat peduli dengan tahanan dan mengajarkan ilmu yang ia punya
untuk tahanan di sana.
Kembali Ke Tokoh Indonesia Contributor : Pangki Sunber : Wikipedia | Mohammad Hatta adalah sosok yang bersahaja dan sederhana. Tidak jarang ia
bersebelahan atau berbeda pandangan politik dengan Bung Karno. Termasuk ketika
Bung Karno cenderung ke paham komunis dengan membentuk Poros Jakarta-Beijing.
Bapak Koperasi ini tetap menghormati Bung Karno sebagai seworang teman dan
kawan.
Muhammad Hatta sangat memimpikan sepatu idamannya “Bally” sebuah sepatu berkelas yang banyak dipakai oleh para
Pejabat, CEO maupun Direktur di negeri ini. Tetapi hingga akhir hayatnya suami
dari Rachmi Rachim ini tidak dapat membelinya dan hanya mengumpulkan lewat
lipatan guntingan koran yang terlihat rapih di dompetnya. Ironis memang jabatan
sebagai seorang Wakil Presiden pada waktu itu tidak mampu membeli sepatu Bally
idaman.
Hal ini begitu kontras dengan keadaan masa sekarang, begitu banyak orang
yang berlomba untuk mencari kekayaan tanpa tahu darimana kekayaan itu berasal.
Tidak sedikit generasi muda yang terperosok kepada Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Dekadensi bangsa ini semakin hari semakin tajam. Moral dan Keimanan
yang seharusnya menjadi integritas dalam
menentukan arah bangsa. Seakan tidak tahu mau ke mana bangsa ini dibawa. Arah
dan tujuan semakin kabur.
Catatan kemerdekan setelah 69 tahun, bangsa ini memang telah mengalami
kemajuan. Banyak para inovator muda yang telah mengharumkan nama Indonesia di
mata Internasional. Tetapi tidak untuk moral dan keimanan, Moral-Keimanan dengan
Rutinitas Duniawi seakan bentuk yang terpisah. Dikotomi keduanya nampak jelas. Banyak orang yang bergelar Profesor
bahkan Haji sekalipun yang melakukan kebohongan publik. Terlebih lagi atas nama agama. Para Elite politikpun
semakin berlomba untuk berpendapat yang benar. Bahkan Presiden maupun Mantan
Presiden saling bersih tegang lantaran ketersinggungan. Coba kita renungkan
bagaimana bangsa ini mau besar.
Bung Hatta telah mengajarkan kepada kita. Begitu tidak sepahamnya ia dengan
Bung Karno, tetapi ia tidak akan memperlihatkan itu kepada rakyat Indonesia.
Bahkan keluarganya sekalipun tak pernah ia ceritakan. Baginya Bung Karno adalah
panutan dan teman seperjuangan yang harus dihormati. Begitu sederhana beliau
dimana sampai akhir hayatnya “Sepatu
Bally” tidak dapat ia beli, seharusnya kita lebih banyak belajar dari kisah
ini.....
Merdeka !
|
Terkini Indonesia
Terbaik Indonesia
Travelling
Kita