Stasiun Jakarta Kota (JAKK), adalah stasiun kereta api terbesar di
Indonesia yang terletak di Kelurahan Pinangsia, kawasan Kota Tua, Jakarta,
Indonesia. Stasiun ini adalah satu dari sedikit stasiun di Indonesia yang
bertipe terminus (perjalanan awal/akhir), yang tidak memiliki jalur lanjutan
lagi.
Sejak 2015, stasiun ini hanya melayani rute komuter menuju daerah-daerah
Jakarta dan sekitarnya Tanjung Priok, Depok, Nambo, Bogor, dan Bekasi.
Stasiun Jakarta Kota dikenal pula dengan sebutan Stasiun Beos. Walaupun
stasiun ini dinamakan "Stasiun Jakarta Kota" dari semenjak berdiri,
tetapi stasiun ini lebih dikenal dengan sebutan "Stasiun Kota". Nama
"Stasiun Kota" juga dapat merujuk kepada Stasiun Surabaya Kota.
Keberadaannya pada saat ini diperdebatkan karena hendak direnovasi dengan
penambahan ruang komersial. Padahal, stasiun ini sudah ditetapkan sebagai cagar
budaya, selain bangunannya kuno, stasiun ini merupakan stasiun tujuan terakhir
perjalanan. Seperti halnya Stasiun Surabaya Kota atau Stasiun Semut di Surabaya
yang merupakan cagar budaya, namun juga terjadi renovasi yang dinilai
kontroversial.
Pada masa lalu, karena terkenalnya stasiun ini, nama itu dijadikan sebuah
acara oleh stasiun televisi swasta. Hanya saja mungkin hanya sedikit warga
Jakarta yang tahu apa arti Beos yang ternyata memiliki banyak versi.
Yang pertama, Beos kependekan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij
(Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur), sebuah perusahaan swasta yang
menghubungkan Batavia dengan Kedunggedeh. Versi lain, Beos berasal dari kata
Batavia En Omstreken, yang artinya Batavia dan Sekitarnya, yang berasal dari
fungsi stasiun sebagai pusat transportasi kereta api yang menghubungkan Kota
Batavia dengan kota lain seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Parijs
van Java (Bandung), Karavam (Karawang), dan lain-lain.
Sebenarnya, masih ada nama lain untuk Stasiun Jakarta Kota ini yakni
Batavia Zuid yang berarti Stasiun Batavia Selatan. Nama ini muncul karena pada
akhir abad ke-19, Batavia sudah memiliki lebih dari dua stasiun kereta api.
Satunya adalah Stasiun Batavia Noord (Batavia Utara) yang terletak di sebelah
selatan Museum Sejarah Jakarta sekarang. Batavia Noord pada awalnya merupakan
milik perusahaan kereta api Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij, dan
merupakan terminus untuk jalur Batavia-Buitenzorg. Pada tahun 1913 jalur
Batavia-Buitenzorg ini dijual kepada pemerintah Hindia Belanda dan dikelola
oleh Staatsspoorwegen. Pada waktu itu kawasan Jatinegara dan Tanjung Priok
belum termasuk gemeente Batavia.
Batavia Zuid, awalnya dibangun sekitar tahun 1870, kemudian ditutup pada
tahun 1926 untuk direnovasi menjadi bangunan yang kini ada. Selama stasiun ini
dibangun, kereta api-kereta api menggunakan stasiun Batavia Noord. Sekitar 200
m dari stasiun yang ditutup ini dibangunlah Stasiun Jakarta Kota yang sekarang.
Pembangunannya selesai pada 19 Agustus 1929 dan secara resmi digunakan pada 8
Oktober 1929. Acara peresmiannya dilakukan secara besar-besaran dengan
penanaman kepala kerbau oleh Gubernur Jendral jhr. A.C.D. de Graeff yang
berkuasa pada Hindia Belanda pada 1926-1931.
Di balik kemegahan stasiun ini, tersebutlah nama seorang arsitek Belanda
kelahiran Tulungagung 8 September 1882 yaitu Frans Johan Louwrens Ghijsels.[1]
Bersama teman-temannya seperti Hein von Essen dan F. Stolts, lelaki yang
menamatkan pendidikan arsitekturnya di Delft itu mendirikan biro arsitektur
Algemeen Ingenieur Architectenbureau (AIA). Karya biro ini bisa dilihat dari
gedung Departemen Perhubungan Laut di Medan Merdeka Timur, Rumah Sakit PELNI di
Petamburan yang keduanya di Jakarta dan Rumah Sakit Panti Rapih di Yogyakarta.
Stasiun Beos merupakan karya besar Ghijsels yang dikenal dengan ungkapan
Het Indische Bouwen yakni perpaduan antara struktur dan teknik modern barat
dipadu dengan bentuk-bentuk tradisional setempat. Dengan balutan art deco yang
kental, rancangan Ghijsels ini terkesan sederhana meski bercita rasa tinggi.
Sesuai dengan filosofi Yunani Kuno, kesederhanaan adalah jalan terpendek menuju
kecantikan
Masa Kini
Stasun Jakarta Kota akhirnya ditetapkan sebagai cagar budaya melalui surat
keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 tahun 1993. Walau masih berfungsi, di
sana-sini terlihat sudut-sudut yang kurang terawat. Keberadaannya pun mulai
terusik dengan adanya kabar mau dibangun mal di atas bangunan stasiun. Demikian
pula kebersihannya yang kurang terawat, sampah beresrakan di rel-rel kereta.
Selain itu, banyak orang yang tinggal di samping kiri kanan rel di dekat
stasiun mengurangi nilai estetika stasiun kebanggaan ini. Kini Pihak KAI
melalui Unit Pelestarian Benda dan bangunan bersejarah telah mulai menata
stasiun bersejarah ini.
STASIUN TERKAIT
Lokasi
Terkini Indonesia
Terbaik Indonesia
Travelling
Kita