Generasi Tanpa Kantor !
Penulis : Rakhmad
Hidayatulloh Permana
Link : https://news.detik.com/kolom/3845185/generasi-tanpa-kantor
Jakarta - Pengangguran. Satu kata itu
pernah disematkan kepada saya — yang kegiatannya hanya berdiam diri di rumah.
Mereka pikir, saya tidak bekerja. Mereka pikir saya hanya menjalani siklus
bernapas, makan, tidur, dan berak. Tak ada yang lain. Padahal yang saya lakukan
di dalam rumah juga kerja yang menghasilkan penghasilan. Ada uang yang setiap
bulan masuk ke dalam rekening saya.
Siklus kerja seperti itu saya lakoni setelah setahun
sebelumnya keluar dari pekerjaan pada sebuah industri perbankan. Saya merasa
tidak cocok dengan lingkungan yang begitu kaku, rekan kerja yang culas, dan
atasan yang hobinya marah melulu. Ketika itu saya menjalani rutinitas layaknya
robot—tetapi masih bisa saja menggerutu.
Hari-hari berlalu dengan dingin tanpa makna. Rasanya juga
tak ubahnya kuda dalam kuasa tali kekang seorang kusir. Bekerja menjadi beban
yang menyebalkan.
Bahkan, sampai saya memutuskan untuk resign pun, nuansa
menyebalkan itu masih saja menggelayuti. Sang atasan masih saja sempat
mengomeli saya. Ada satu perkataan darinya yang mustahil saya lupakan. Kalimat
itu terlontar ketika saya mengajukan surat resign. Begitu ia menerima surat yang
saya sodorkan dan membacanya sekilas, ia berseloroh dengan congkak,
"Generasi sekarang memang cengeng-cengeng semua. Baru setahun kerja sudah
nggak kuat. Beda sekali dengan generasi saya dulu. Generasi saya dulu mau
berusaha merasakan perih dulu."
Kata-kata itu ia ucapkan dengan sok gagah sembari
menunjukkan betapa hebatnya generasi lawas. Sekaligus terkesan menyayangkan
keputusan saya yang memilih resign—lucunya beberapa bulan sebelumnya ia pernah
mengatakan saya tak becus dalam bekerja dan sebaiknya resign saja. Dasar bos
plin plan!
Baginya, keputusan saya adalah bukti bahwa generasi
sekarang—atau kita lebih mengenalnya sebagai millenials—itu lemah. Mental
generasi milenial itu seperti tempe, agar, dan keju. Sedangkan generasi baby
boomers dan generasi X mentalnya baja kualitas super. Generasi lawas adalah
mereka yang selalu identik dengan sikap bijak bestari.
Dan, atasan saya di kantor lawas masih saja terkungkung
dalam nostalgia zaman keemasan generasinya. Kasihan! Padahal saya menganggapnya
tak lebih dari pecundang yang terjebak dalam situasi "sudah kepalang
tanggung punya banyak tanggungan". Sehingga mustahil baginya melakukan
petualangan kariernya lebih jauh dan penuh risiko.
Sedangkan saya, merasa masih dalam usia belia dan haus
akan segala bentuk petualangan karier yang seru. Meskipun sempat juga merasa
tidak tahu harus ke mana dan mengerjakan apa. Namun, akhirnya saya memutuskan
bekerja sebagai penulis lepas yang sistem kerjanya dilakukan secara remote.
Saya menjadi akhirnya sempat menjadi bagian dari "generasi tanpa
kantor".
Apa yang saya sebut "generasi tanpa kantor" itu
juga sempat disinggung oleh Yoris Sebastian dalam buku Generasi Langgas:
Millenials Indonesia (2016). Dalam risetnya Yoris mengatakan bahwa generasi
yang sering diolok-olok cengeng itu memang punya kecenderungan budaya kerja
yang berbeda. Mereka menyukai kebebasan, kemudahan, kreativitas, tantangan, dan
kolaborasi kerja yang menyenangkan. Persis seperti lema "langgas"
yang artinya juga ialah kebebasan.
Yoris juga menunjukkan data turn over pekerja angkatan
muda yang tinggi. Umumnya, generasi ini hanya butuh 1 sampai 2 tahun saja untuk
memutuskan dirinya bertahan atau resign. Tetapi, menurut Yoris hal ini bukan
karena mental mereka cemen, namun karena generasi langgas ini secara sadar
paham akan pilihan hidup mereka. Yoris juga mengatakan bahwa generasi langgas
setelah resign biasanya justru beralih pada pekerjaan kreatif yang bisa
dilakukan secara remote, alias memilih menjadi "generasi tanpa
kantor."
Fenomena ini semakin kentara dengan ditandai oleh
kehadiran beberapa tempat co-working place. Di kota-kota besar seperti Jakarta,
Bandung, dan Surabaya co-working place bak cendawan di musim hujan. Semuanya
menawarkan berbagai fasilitas, dari wifi sampai ruangan yang cozy. Kerja-kerja
kreatif generasi tanpa kantor bisa dilakukan dengan asyik di co-working place.
Mereka pun bisa pula melakukan brainstorming dengan rekan kerja dari berbagai
background. Tentu, hal ini akan membuat kerja-kerja menjadi lebih menyenangkan
dan kaya ide.
Sekarang pun sudah banyak sekali perkakas digital yang
memungkinkan orang tidak perlu repot berangkat ke kantor hanya untuk bekerja.
Biasanya, perkakas ini sering dipakai oleh mereka yang bekerja di industri
digital start up. Ada kantor-kantor virtual seperti platform bernama slack yang
memudahkan orang untuk bekerja dan berdiskusi bersama dalam ruang digital.
Bahkan, aplikasi perkantoran bisa dikerjakan secara online melalui fitur google
docs, dan bisa disimpan di ruang digital melalui google drive. Tanpa perlu
khawatir data rusak atau lenyap karena virus.
Jika pun ada rapat penting yang mengharuskan tatap muka,
kini orang juga tak perlu hadir di tempat rapat. Cukup membuat teleconference
dengan aplikasi seperti google hang out. Anda bisa menghadiri rapat meski
terjebak dalam mobil ketika macet, atau bahkan melakukan rapat sembari
menikmati kemalasan di atas kasur yang empuk.
Semua kerja-kerja ini tak mensyaratkan sebuah kantor,
cukup hanya dengan kuota data dan kualitas sinyal yang mumpuni, kerja bisa
tercipta. Sekali lagi, generasi tanpa kantor adalah keniscayaan abad modern
ini. Orang-orang yang melabeli generasi ini sebagai pemalas, cemen, dan
pegangguran barangkali memang belum sampai bisa memahami betapa majunya
teknologi.
Padahal, jauh-jauh hari pakar futuris sekelas Alvin
Toffler pun sudah meramalkan bahwa di masa depan kegiatan industri bisa
dilakukan di rumah, sebuah organisasi tak memerlukan struktur formal, konsep
ekonomi berbagi juga bakal makin marak. Semuanya sudah tertulis dalam buku Future
Shock yang ditulisnya pada 1970.
Jangan heran pula apabila generasi tanpa kantor juga
mulai berhenti membaca buku-buku genre motivasi. Buku-buku motivasi perlahan
akan tergusur dari rak-rak berlabel best seller toko buku. Genre buku motivasi
akan digantikan oleh genre buku bernama life enthusiast. Jika buku motivasi
melulu bicara tentang kesuksesan untuk meraih kegemilangan materi, buku life
enthusiast justru membahas tentang kebermaknaan hidup dan cara mengelola
keseimbangan hidup.
Generasi tanpa kantor tidak lagi bekerja melulu hanya soal
uang dan pangkat. Namun, jauh lebih dari itu, mereka mencari apa yang disebut
sebagai kebermaknaan—atau pada titik lain ini juga bisa berarti sebagai sebuah
petualangan batin yang menyenangkan.
Maka lengkaplah sudah karakter generasi tanpa kantor yang
unik ini. Mereka bukan generasi pengangguran tanpa visi yang hidupnya seperti
ternak yang perlu digembalakan. Generasi tanpa kantor ialah generasi yang
memenuhi tuntutan zaman teknologi. Generasi tanpa kantor berjalan maju dengan
jujur dan langkah pasti tanpa nuansa kegagahan yang dibikin-bikin. Sebab mereka
tak ingin diringkus dalam kerangka normatif yang penuh dengan basa-basi
formalitas.
Jadi sudahlah, kawanku para "generasi tanpa
kantor", jangan terlalu menganggap omongan orang lain yang melulu mengira
kerja hanya terjadi di dalam kantor berkaca yang mewah. Mereka barangkali
memang jenis manusia yang hanya bisa melihat kebahagiaan dari seragam formal
dan bilik-bilik kubikel. Kalian seharusnya justru bersimpati kepada
manusia-manusia dengan alam pikiran jadul seperti itu.
So, baiklah, saya ucapkan selamat berbahagia untuk kalian
para generasi tanpa kantor !
Rakhmad Hidayatulloh Permana generasi milenial yang malas
bangun pagi, penggemar susu murni dan cilok goang
Terkini Indonesia
Terbaik Indonesia
Travelling
Kita