I. Suku bangsa
Aceh memiliki 13 suku bangsa asli. Yang terbesar
adalah Suku Aceh yang mendiami wilayah
pesisir mulai dari Langsa di pesisir timur utara sampai
dengan Trumon di pesisir barat selatan. Etnis
kedua terbesar adalah Suku Gayo yang mendiami wilayah
pegunungan tengah Aceh.
Suku Devayan mendiami wilayah
selatan Pulau Simeulue sedangkan Suku
Sigulai dan Suku Lekon di utaranya. Suku Haloban dan Suku Nias terdapat di Pulau Banyak
Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan hasil sebagai berikut:
- Aceh (50,32%),
- Jawa (15,87%),
- Gayo (11,46%),
- Alas (3,89%),
- Singkil (2,55%),
- Simeulue (2,47%),
- Batak(2,26%),
- Minangkabau (1,09%),
- Lain-lain (10,09%)
- Aceh (50,32%),
- Jawa (15,87%),
- Gayo (11,46%),
- Alas (3,89%),
- Singkil (2,55%),
- Simeulue (2,47%),
- Batak(2,26%),
- Minangkabau (1,09%),
- Lain-lain (10,09%)
II. Agama
Sebagian
besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13
suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang
tidak semuanya memeluk agama Islam. Agama
lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang
dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan
bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama
Konghucu.
Selain
itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain,
karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar
warganya yang menganut agama Islam, berdasar UU No.18/2001. Kalangan
intelektual Aceh sendiri masih memperdebatkan apakah yang diberlakukan di Aceh
sudah benar-benar syariat atau itu cuma karena alasan politis saja. Alasan
yang juga kemudian disebutkan adalah kondisi konkret ketika itu berkenaan
dengan politik, polemik di kalangan jumhur ulama soal bisa tidaknya hukum Islam
diproduksi pasca kenabian selain persoalan dualisme aliran dalam Islam, dua
aliran besar dalam tradisi tafsir hukum Islam.
III. Pendidikan
Dalam
hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa selain dari
D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang ada tidak menunjukkan kesesuaian
antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh dapat
dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik yang
berkepanjangan dan penganaktirian dari RI, dengan sekian ribu sekolah dan
institusi pendidikan lainnya menjadi korban. Pada Ujian Akhir Nasional 2005 ada
ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang.
Aceh juga memiliki sejumlah perguruan tinggi yaitu:
Negeri
- Universitas Syiah Kuala
- Universitas Islam Negeri
Ar-Raniry
- Universitas Malikussaleh
- Politeknik Negeri Lhokseumawe
- Politeknik
Aceh
- STAIN Malikussaleh
- STAIN Zawiyah Cot Kala
Swasta
- Universitas Abulyatama
- Universitas Almuslim
- Universitas Muhammadiyah Aceh
- Universitas Iskandar Muda
- Universitas Serambi Mekkah
- Universitas Jabal Ghafur
IV. Sejarah
Jaman
kerajaan Hindu-Buddha
Sebagaimana daerah lain di kepulauan Nusantara,
Aceh juga pernah mengalami masa berkembangnya agama Hindu dan Budha yang
datang dari daratan benua Asia. Pada masa itu di Aceh telah diwarnai dengan adanya
beberapa kerajaan kecil yang berdasarkan agama tersebut misalnya Indrapuri, Indra Patra dan Indra Purwa semuanya
di Aceh
Besar.
Masuknya
Islam
Masih terjadi silang pendapat terkait persoalan dari
sejak kapan Islam pertama sekali disebarkan ke Aceh. Sebagian berpandangan
sudah dimulai dari sejak masa kekhalifahan Utsman bin Affan sebagai
khalifah ketiga setelah kerasulan Muhammad SAW.
Terkait Islam yang datang ke Aceh, Snouck Hurgronje dengan teori Gujaratnya menyebut Islam yang datang ke sana bukanlah Islam yang dibawa Muhammad, tetapi Islam yang sudah berkembang matang. Bukan Islam dari al Quran dan Hadits, melainkan Islam dengan kitab-kitab Fiqh dan dogmanya dari 3 abad kemudian.
Terkait Islam yang datang ke Aceh, Snouck Hurgronje dengan teori Gujaratnya menyebut Islam yang datang ke sana bukanlah Islam yang dibawa Muhammad, tetapi Islam yang sudah berkembang matang. Bukan Islam dari al Quran dan Hadits, melainkan Islam dengan kitab-kitab Fiqh dan dogmanya dari 3 abad kemudian.
Sebagian lagi, ada yang berpandangan bahwa Islam
yang datang ke Aceh justru sudah dimulai dari sejak tahun pertama Hijriyah (618
M). Satu pandangan yang menurut penulis buku Tasawuf Aceh merupakan pandangan
tidak masuk akal. Alasan yang dikemukakannya adalah pada masa tersebut; ada
kevakuman antara wahyu pertama (610 M) dengan wahyu kedua kepada Muhammad
selama 2,5 tahun. Ditambah dengan masa berdakwah secara
sembunyi-sembunyi yang dilakukan Muhammad selama 3 tahun. Dengan demikian baru
pada tahun ke-7 masa kenabiannya baru dimulai dakwah secara terang-terangan.
Tetapi sedikitnya persoalan
demikian bisa ditelusuri dari keberadaan kerajaan pertama bercorak Islam di
Aceh, Kerajaan Perlak yang didirikan pada 1 Muharram 225 Hijriyyah.
Kesultanan
Aceh
Kesultanan Aceh merupakan
kelanjutan dari Kesultanan
Samudera Pasai yang hancur pada abad ke-14. Kesultanan
Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan
ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam
sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh
telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama
karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer.
Komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Aceh Darussalam pada zaman
kekuasaan zaman Sultan
Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam (Sulthan Aceh ke 19),
merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah
asal Perancis yang
tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai
pesisir barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan
Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16,
termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat
perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama
dengan Portugal, lalu
sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris)
dan Belanda. Pada akhir
abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung
Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani,
di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak
Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak
benar. Pada tahun 1871, Britania
membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari
mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
Perang
Aceh
Perang Aceh dimulai
sejak Belanda menyatakan perang terhadap
Aceh pada 26 Maret 1873, dimulai
dari kedatangan Jenderal J.H.R Kohler dengan jumlah pasukan sebanyak 3.198,
termasuk 168 perwira KNIL
Setelah melakukan beberapa
ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali
berkobar pada tahun 1883, namun
lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak
Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Bahkan, pada hari
pertama perang berlangsung, 1 unit kapal perang Belanda, Citadel van Antwerpen
harus mengalami 12 tembakan meriam dari pasukan Aceh.
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang
ahli yang berpura-pura masuk Islam dari Universitas
Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan
dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan
mereka diarahkan kepada para ulama, bukan
kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan
sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn,
merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada
Belanda pada tahun 1903 setelah
dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda.
Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Saat itu, Ibukota
Aceh telah sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih terus
dilakukan oleh Panglima-panglima di
pedalaman dan oleh para Ulama Aceh sampai akhirnya jepang masuk
dan menggantikan peran belanda.
Perang Aceh adalah perang yang paling banyak
merugikan pihak belanda sepanjang sejarah penjajahan Nusantara.
Jaman
penjajahan
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh
mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan
terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian
terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. SaatVolksraad (parlemen)
dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama
dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Mr. Teuku Muhammad Hasan).
Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir
kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke
pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh.
Negosiasi dimulai pada tahun 1940. Setelah beberapa rencana pendaratan
dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di
wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh
pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh membuat
Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.
Awalnya Jepang bersikap baik
dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan
dan adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk
membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika
keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum
perempuan mulai dilakukan oleh personel tentara Jepang. Rakyat Aceh yang
beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit
di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam.
Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah
Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku
Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe.
Pasca
kemerdekaan Indonesia
Teungku Muhammad Daud Beureu'eh, ulama pemimpin
perjuangan DI/TII Aceh
Sejak tahun 1976, organisasi
pembebasan bernama Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) telah berusaha untuk memisahkan Aceh
dari Indonesia melalui
upaya militer. Pada 15 Agustus 2005, GAM dan
pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga
mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30
tahun.
Pada 26 Desember 2004,
sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang
melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan
menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.
Di samping itu, telah muncul
aspirasi dari beberapa wilayah Aceh, khususnya di bagian barat, selatan dan
pedalaman untuk memisahkan diri dari Aceh dan membentuk provinsi-provinsi baru.
Darul Islam / Tentara Islam Indonesia
Aceh yang semula bergabung dengan
Indonesia dengan jaminan Soekarno akan
menerapkan syariat Islam, merasa kecewa karena syariat Islam tidak dijadikan
sebagai landasan negara. Sehingga pada tanggal 13 Muharram 1372 H/21 September
1953 M, Teungku Muhammad
Daud Beureu'eh atas nama rakyat Aceh mengumumkan bergabung
dengan Negara Islam Indonesia yang didirikan oleh Kartosoewirjo.
Gerakan Aceh Merdeka
Pasca Gempa dan Tsunami 2004,
yaitu pada 2005, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat
mengakhiri konflik di Aceh. Perjanjian ini ditandatangani di Finlandia, dengan
peran besar daripada mantan petinggi Finlandia, Martti Ahtisaari.
Politik dan pemerintahan
Sistem pemerintahan yang
berlaku di Aceh saat ini ada 2, yaitu Sistem Pemerintahan Lokal Aceh dan
Sistem Pemerintahan Indonesia. Berdasarkan penjenjangan, perbedaan yang tampak
adalah adanya Pemerintahan Mukim di
antara kecamatan dan gampong.
Kabupaten dan Kota di Aceh
Sejak tahun 1999, Aceh telah mengalami beberapa
pemekaran wilayah hingga sekarang mencapai 18 Kabupaten dan 5 pemerintahan kota sebagai berikut :
No.
|
Kabupaten/Kota
|
1
|
Kabupaten Aceh Barat
|
2
|
Kabupaten Aceh Barat Daya
|
3
|
Kabupaten Aceh Besar
|
4
|
Kabupaten Aceh Jaya
|
5
|
Kabupaten Aceh Selatan
|
6
|
Kabupaten Aceh Singkil
|
7
|
Kabupaten Aceh Tamiang
|
8
|
Kabupaten Aceh Tengah
|
9
|
Kabupaten Aceh Tenggara
|
10
|
Kabupaten Aceh Timur
|
11
|
Kabupaten Aceh Utara
|
12
|
Kabupaten Bener Meriah
|
13
|
Kabupaten Bireuen
|
14
|
Kabupaten Gayo Lues
|
15
|
Kabupaten Nagan Raya
|
16
|
Kabupaten
Pidie
|
17
|
Kabupaten Pidie Jaya
|
18
|
Kabupaten Simeulue
|
19
|
Kota
Banda Aceh
|
20
|
Kota Langsa
|
21
|
Kota
Lhokseumawe
|
22
|
Kota Sabang
|
23
|
Kota Subulussalam
|
Sistem
Pemerintahan Lokal Aceh
Sistem pemerintahan lokal Aceh terdiri dari gampông,
mukim, nanggroë, sagoë dan keurajeun.
Sumber Terkait :
Sumber :
http://kebudayaanindonesia.net/
http://alamendah.org/
http://fokusaceh.blogspot.com/
http://alamendah.org/
http://fokusaceh.blogspot.com/
http://nailulkharisma.blogspot.com/
Sumber Utama :
Wikipedia.com
Ensiklopedi Aceh
Sumatera Lainnya
Ensiklopedi Indonesia
Terkini Indonesia
Terbaik Indonesia
Travelling
Kita